Logo Bloomberg Technoz

Dalam tren jangka menengah (Mid-term), rupiah masih memiliki potensi pelemahan menuju Rp16.350/US$, bila support terkuat juga tertembus. 

Pelemahan rupiah sudah bisa diprediksi seiring dengan lonjakan harga dolar Amerika Serikat (AS) di pasar global. Indeks dolar AS (DXY) yang mengukur kekuatan the greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, menyentuh level 109,4 dini hari tadi dan pagi ini di Asia masih bergerak di kisaran tersebut.

Rupiah memang tidak melemah sendiri pagi ini. Pergerakan mata uang Asia cenderung terbelah dua sejak pembukaan pasar tadi. Bila rupiah masuk di kantong valuta Asia yang tertekan, maka sebagian lagi yang lain masih menguat.

Won Korsel memimpin penguatan 0,38%, dolar Singapura 0,20%, yuan offshore 0,18%, yen 0,13% dan dolar Hong Kong 0,01%.

Sementara itu, tekanan yang dihadapi oleh rupiah berlangsung ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil dibuka hijau lagi untuk hari kedua awal perdagangan tahun 2025. IHSG naik 0,20% di awal pembukaan pasar. 

Adapun di pasar surat utang negara, tenor pendek terlihat turun imbal hasilnya. Yield 2Y sedikit bergeser ke 7,05%. Sementara tenor SUN di atas 5 tahun kebanyakan bergerak naik yield-nya.

Tenor 5Y kini di 7,02% sedangkan tenor 10Y bertahan di 6,99%.

Mata uang Asia terlalu murah

Hasil kajian yang dilakukan oleh Bloomberg Intelligence menunjukkan, mayoritas mata uang Asia valuasinya sudah terlalu murah (undervalued) akibat terjangan dolar AS yang makin menjadi-jadi pasca Donald Trump terpilih sebagai presiden AS pada pilpres awal November lalu.

Rupiah mencatat undervalued hingga 9,6% saat ini. Nilai wajar kurs dolar AS dalam rupiah adalah sebesar Rp14.685/US$, menurut kajian tim Bloomberg Intelligence di antaranya Stephen Chiu dan Chunyu Zhang.

Dengan demikian, dengan posisi kini harga dolar AS sebesar Rp16.200-an/US$, itu dinilai tidak mencerminkan nilai wajarnya alias dolar saat ini terlalu mahal.

Kondisi undervalued mayoritas mata uang Asia yang terlihat saat ini diperkirakan akan semakin meningkat pada tahun 2025 bila AS di bawah rezim Trump melancarkan Perang Dagang 2.0.

Analisis tim Bloomberg Intelligence didasarkan atas permodelan Behavorial Equilibrium Exchange Rate (BEER) yang mencakup sebagian besar pasangan valuta global utama.

Bila rupiah tercatat undervalued hampir 10% terhadap dolar AS, di belakangnya adalah ringgit Malaysia yang undervalued hingga 9,5%, lalu peso 8,5%, lalu dolar Taiwan sebesar 6,7%.

Dong Vietnam juga nilainya ada di bawah angka wajar hampir 5%, rupee 4%, sementara baht di bawah harga wajar sebesar 2,3%. Yuan Tiongkok di sisi lain 2%. Di antara mata uang Asia, won Korsel menjadi mata uang di kawasan yang paling 'murah' di bawah harga wajarnya dengan nilai undervalued mencapai 15,3%.

Sedangkan dolar Singapura tercatat overvalued atau di atas harga wajar terhadap the greenback sebesar 3%.

(rui)

No more pages