MK sendiri telah menetapkan lima syarat atau kriteria kerugian konstitusional yang harus terpenuhi secara kumulatif. Hal ini ditetapkan agar hanya orang-orang yang benar-benar memiliki kepentingan hukum yang bisa mengajukan permohonan ke MK atau standing to sue.
Sesuai asas universal dalam beracara di pengadilan, yakni tiada gugatan tanpa adanya kepentingan atau point d’interet point d’action; zonder belang geen rechtsingang.
Pasal 222 UU Pemilu, kata Anwar dan Daniel, telah mengalami pengujian atau menjalani gugatan sebanyak 33 kali. Dalam sejumlah putusan, MK kerap menolak gugatan karena pemohon tak memiliki kedudukan hukum.
Kedudukan hukum dalam aturan ini sendiri antara lain berasal dari partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; atau perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri.
Empat mahasiswa UIN Yogyakarta dianggap tak memenuhi satu pun syarat kedudukan hukum pemohon yang bisa mengajukan gugatan terhadap Pasal 222 UU Pemilu.
"Karenanya, dalam kesempatan ini, sekali lagi, kami hendak menegaskan sikap dan pendirian sebagai hakim konstitusi bahwa norma Pasal 222 UU Pemilu hanya dapat dimohonkan pengujian pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan," tulis kedua hakim konstitusi.
Menurut Anwar dan Daniel, MK tak perlu mengeluarkan putusan penghapusan pasal atau lainnya terhadap UU Pemilu. MK telah mengeluarkan pesan atau judicial order kepada pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan DPR untuk mengatur lebih baik pendaftaran partai politik, pencalonan, pemungutan suara, penghitungan suara hingga pelantikan calon terpilih.
Hal ini disampaikan untuk mendorong pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU Pemilu; termasuk soal presidential threshold. Hal ini pun masih bisa dilakukan karena pelaksanaan pemilu baru akan terjadi pada 2029, atau lima tahun lagi.
"Mahkamah perlu melakukan pengendalian diri atau restraint dari kecenderungan untuk menilai kembali konstitusionalitas norma
a quo pada saat ini dengan menyerahkan kepada pembentuk undang-undang," tulis keduanya.
Toh, kata mereka, MK hanya bisa membatalkan UU atau menghapus sebagian isinya jika produk hukum pemerintah dan DPR tersebut melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
“Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah,” tulis Dissenting Opinion tersebut.
(azr/frg)