Return reksa dana saham tergerus hingga 10,32% tahun 2024 seperti terlihat dari Infovesta Equity Fund Index.
Sedangkan reksa dana pendapatan tetap masih positif meski kecil, dengan Infovesta Fixed Income Fund Index naik 3% tahun lalu.
Praktis, hanya emas dan mata uang kripto seperti Bitcoin yang melesat jadi aset paling tinggi cuannya. Emas batangan produksi PT Aneka Tambang Tbk, misalnya, mencetak kenaikan harga hingga 35,22% sepanjang 2024.
Namun, kenaikan tingkat return mencerminkan potensi keuntungan sebesar 20,7% pada 2024 bila menghitung posisi terakhir harga buyback di Rp1.365.000 per gram pada akhir 2024.
Lonjakan harga emas Antam itu tak lain karena harga emas di pasar dunia yang memang terbang tinggi sepanjang tahun lalu. Kenaikan harga emas dunia pada 2024 mencapai 27,24% point-to-point. Itu menjadi kenaikan tahunan tertinggi sejak 2010 lalu.
Di antara berbagai aset-aset investasi tersebut, Bitcoin keluar sebagai juara dengan membukukan kenaikan harga gila-gilaan selama 2024 lalu.
Harga Bitcoin 'terbang' hingga 150,32% ketika memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa pada 17 Desember lalu di harga US$ 106.407. Meski pada akhir tahun, mata uang kripto ini ditutup di US$ 93.714, mencerminkan kenaikan point-to-point sebesar 120,46%.
Nama Aset | Harga Akhir 2023 | Harga Akhir 2024 | Return 2024 |
Bitcoin (US$ per BTC) | 42.507,90 | 93.714,04 | 120,46% |
Emas spot (US$ per troy ounce) | 2.062,98 | 2.624,50 | 27,21% |
Emas Antam (Rp per gram) | 1.130.000 | 1.365.000* | 20,79% |
IHSG | 7.272,79 | 7.079,90 | -2,65% |
USDIDR | 15.397 | 16.102 | 4,57% |
Obligasi Pemerintah | 366,66 | 383,61 | 4,82% |
Obligasi Korporasi | 422,27 | 455,66 | 7,78% |
Reksa Dana Saham | 5.733,24 | -10,32% |
Sumber: Bloomberg *) harga buyback
Dengan capaian kinerja tiap aset menunjukkan perbedaan capaian yang cukup lebar sepanjang tahun lalu, bagaimana untuk tahun ini? Aset investasi mana yang paling potensial memberikan cuan optimal?
Ada beberapa hal utama yang akan mempengaruhi pergerakan aset tahun ini. Beberapa hal itu menjadi risiko pasar yang wajib dicermati oleh pelaku pasar.
Pertama, dimulainya Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump yang akan resmi dilantik pada 21 Januari nanti.
Kebijakan berbau proteksionisme Trump melalui pemberlakuan tarif impor tinggi pada negara-negara utama seperti China dan negeri jiran AS, diprediksi akan berdampak pada lonjakan inflasi di negeri itu.
Inflasi yang kembali meningkat, akan memperlambat laju bank sentral AS, Federal Reserve, dalam memangkas bunga acuan. Alih-alih, The Fed bahkan mungkin bisa mengerek bunga lagi bila inflasi tak terkendali.
Di sisi lain, rencana belanja yang besar akan mengerek tingkat imbal hasil (bunga) surat utang AS, Treasury. Kenaikan yield Treasury bakal menyedot dana dari pasar-pasar emerging market, termasuk Indonesia, mengalir kembali pulang ke Amerika.
Chief Economist di Apollo Global Management Torsten Sløk memperkirakan, ada peluang sekitar 40% bagi yield Treasury tenor 10Y untuk bergerak di atas 5% sebelum pertengahan 2025.
Kedua, adanya risiko resesi yang dihadapi oleh negara dengan PDB kedua serta keempat terbesar di dunia yakni China dan Jerman. Probabilitas terjadinya resesi di China mencapai 40%, menurut Sløk.
China masih menghadapi deflasi dalam lima kuartal beruntun, terpanjang pertama kalinya sejak 1999.
Meski berulang kali para pemimpin di Tiongkok bilang akan menggeber stimulus besar-besaran untuk menolong perekonomian, para analis menilai resesi lebih mungkin melanda negeri tersebut.
Survei Bloomberg yang dirilis bulan ini mencatat, potensi resesi di Tiongkok hanya 10% dalam 12 bulan ke depan. Survei dilakukan terhadap 66 ekonom.
Ekonomi China ditaksir masih akan tumbuh 4,5% tahun depan melambat dari perkiraan capaian tahun ini sebesar 4,8%.
Bagi Indonesia, dua hal itu saja sudah menjadi 'alarm merah'. Bunga acuan The Fed yang lebih tinggi dalam waktu lebih lama, juga tingginya imbal hasil Treasury adalah kabar buruk bagi rupiah dan obligasi.
Harga emas juga bisa terseret lesu tertekan higher for longer The Fed. Namun, risiko pemburukan harga emas lokal mungkin akan tertahan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Artinya, meski potensi bunga The Fed mungkin akan membatasi kenaikan harga emas dunia, akan tetapi lemahnya rupiah mungkin bisa membawa harga emas Antam tidak ikut terperosok terlalu dalam.
Pada saat yang sama, bila pelemahan konsumsi domestik masih belum menunjukkan perbaikan maka itu bisa membebani pula korporasi di bursa terutama bagi emiten yang mengandalkan sektor domestik.
Pelemahan rupiah dan tingginya bunga surat utang juga menjadi beban bagi korporasi karena mencari pendanaan jadi kian mahal.
Bagi Indonesia, sulit juga berharap bisa menikmati lagi limpahan berkah dari kenaikan harga komoditas seperti yang terjadi pada 2022 lalu. Harga komoditas dua tahun terakhir sudah ternormalisasi.
Harga komoditas andalan Indonesia seperti batu bara, misalnya, diprediksi makin lesu tahun depan. Hanya minyak sawit mentah (CPO) dan nikel yang masih memberikan asa.
CPO misalnya, setelah mencetak lonjakan harga 19,43% tahun lalu, pada tahun depan diprediksi masih akan bertaji didukung tingginya permintaan bahan bakar nabati dan kemungkinan penurunan ekspor dari Indonesia yang tengah fokus pada program biodiesel di dalam negeri.
Sementara nikel yang membukukan kinerja buruk tahun lalu, pada 2025 masih menyimpan potensi kebangkitan terutama bila China memperlihatkan pemulihan ekonomi yang bisa mengerek permintaan kembali besar.
Praktis, tersisa Bitcoin yang sepertinya masih akan mendapatkan limpahan berkah dari keterpilihan Trump. Trump yang pro dengan mata uang kripto didukung oleh Kongres dan Senat yang banyak dihuni oleh para lawmakers pro kripto, bisa mendorong makin mapannya ekosistem mata uang digital di masa depan.
Sementara peluang cuan di aset-aset lain mungkin akan lebih terbatas dan dengan volatilitas yang diperkirakan akan meningkat, menerapkan strategi perdagangan jangka pendek mungkin akan lebih menguntungkan.
Disclaimer:
Artikel ini bukan sebagai ajakan untuk berinvestasi atau membeli sebuah aset tertentu. Segala keputusan terkait penempatan dana di sebuah aset setelah membaca artikel ini menjadi tanggung jawab pribadi pembaca, berikut risiko-risikonya.
(rui/aji)