Analis Kiwoom Sekuritas Miftahul Khaer mengatakan, untuk 2025, tampaknya akan ada sedikit perbaikan terhadap outlook harga nikel dibandingkan dengan tahun lalu, seiring dengan potensi pemulihan industri baja nirkarat atau stainless steel China.
“Kami kira kenaikan harga nikel hanya merupakan normailsasi harga di pasar global, respons dari penurunannya yang cukup tajam beberapa bulan sebelumnya. Selain itu, dari segi price action, juga nikel saat ini berada di fase demand-nya,” terang Miftahul saat dihubungi, dikutip Kamis (2/1/2025).
“Di sisi lain, kami kira ada perbaikan outlook nikel [pada 2025], seperti peningkatan permintaan dari industri baja tahan karat, terutama di China, yang mendorong kebutuhan impor nikel.”
Selain permintaan untuk industri baja nirkarat, Miftahul bependapat adopsi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang diharapkan meluas tahun ini, dapat menjadi katalis pendorong permintaan nikel sebagai komponen utama baterai ion litium.
Faktor Produksi RI
Dari sisi suplai, rencana Pemerintah Indonesia untuk memangkas produksi nikel pada 2025 juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi penurunan suplai pada masa depan, sehingga akan memengaruhi kinerja harga komoditas mineral logam itu.
Kalangan penambang juga berharap rencana pemerintah memangkas produksi nikel pada 2025 dapat menjadi pemantik yang bisa memperbaiki harga komoditas logam baterai tersebut, setelah terus turun dalam dua tahun terakhir.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan saat ini Indonesia berperan sekitar 53% sampai 65% dari total produksi dan suplai nikel dunia.
Meidy menyebut produksi tambang nikel Indonesia pada 2023 mencapai hampir 2 juta ton, atau lebih tepatnya 1,8 juta ton. Hal tersebut memicu gelombang kelebihan pasokan di pasar global yang mendorong tren penurunan harga nikel lebih lanjut.
Untuk itu, dia pun sepakat jika pemerintah hendak memangkas kuota produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel, dengan catatan volume pembatasannya tidak terlalu besar.
“Ya mudah-mudahan dengan begitu harga bisa naik, walaupun sedikit. Lalu, kita juga bisa mengontrol kapasitas produksi dari nikel-nikel kela 2, begitu,” tuturnya.
Meski pemerintah merencanakan pembatasan, menurutnya, masalah oversupply nikel di pasar global kemungkinan masih akan terjadi pada 2025, kendati tidak separah kondisi pada 2023. Terlebih, banyak pabrik pengolahan atau smelter nikel di Eropa yang tutup.
Ke depan, Meidy berharap pemerintah lebih jeli dalam memetakan prospek suplai dan permintaan komoditas global, serta tidak hanya memikirkan kepentingan produsen dan penambang di dalam negeri.
Pemerintah sebelumnya mempertimbangkan pemangkasan kuota penambangan nikel dalam jumlah besar karena berupaya mendongkrak harga yang tengah merosot.
Dilaporkan Bloomberg, Indonesia tengah berupaya menurunkan jumlah bijih nikel yang diizinkan untuk ditambang pada 2025 menjadi 150 juta ton, menurut orang-orang yang mengetahui masalah tersebut yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena pembahasannya bersifat tertutup.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)