Logo Bloomberg Technoz

Dari total utang sektor publik yang sudah di atas Rp16.000 triliun, sebesar 26,2% adalah utang dalam denominasi valuta asing. Sementara utang publik di mana krediturnya adalah nonresiden (asing), porsinya mencapai 25,53% atau sekitar Rp4.238,78 triliun.

Tahun ini, Pemerintah RI memiliki beban pembayaran utang jatuh tempo senilai Rp800,33 triliun dengan bunga utang mencapai Rp550 triliun. 

Alhasil, beban pembayaran utang dan bunga utang yang harus dibayarkan tahun ini mencapai Rp1.300 triliun. Angka itu setara dengan 59,3% penerimaan perpajakan pada 2025, mengutip kajian Center of Economic and Law Studies. 

Dalam 10 tahun terakhir, beban bunga utang Pemerintah RI telah meningkat hingga 254%. Sementara nilai anggaran untuk subsidi hanya naik 66% dan alokasi untuk perlindungan sosial juga hanya naik 57%.

"Jadi, lebih banyak bayar bunga utang atau keperluan lain?," kata tim ekonom Celios di antaranya Bhima Yudhistira, Nailul Huda, dalam kajian yang dilansir beberapa waktu lalu.

Para ekonom menilai, beban utang yang besar telah membuat keuangan negara kurang mampu bergerak leluasa mengoptimalkan pendapatan untuk pembangunan. Pendapatan yang diperoleh pada akhirnya banyak terkuras untuk membayar utang.

Peningkatan rasio utang Pemerintah RI dari kisaran 26% pada tahun 2010 hingga saat ini sudah mendekati 40%, dinilai para ekonom sebagai praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat. Mengikuti hukum politik di mana rezim memaksimalkan bujet tanpa kendali tanpa kontrol dan check and balances yang sehat, menurut pandangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

"Politik anggaran hanya refleksi dari politik yang sakit, demokrasi yang dikebiri dan dilumpuhkan selama 10 tahun ini," kata Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini.

Tingkat bunga utang Indonesia kini jadi yang tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 7,2%. Bandingkan dengan Thailand yang cuma 2,7%, Vietnam 2,8%, Singapura 3,2%, dan Malaysia 3,9%. 

Kualitas belanja memburuk karena porsi anggaran untuk pembayaran utang menjadi makin mendominasi ketimbang belanja untuk kebutuhan lain. Belanja Pemerintah Pusat misalnya, terkuras untuk pembayaran bunga utang yang naik pesat dari sebesar 11,09% pada 2014 menjadi 20,10% pada 2024.

Bahaya Utang

Selama ini, pemerintah selalu menekankan, rasio utang masih aman karena angkanya di bawah 60% dari PDB, sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Bila menilik level utang pemerintah saja, rasionya memang belum di angka itu. Akan tetapi, batas aman itu sebenarnya tidak cukup aman ketika utang perusahaan-perusahaan pelat merah alias BUMN juga diperhitungkan.

BUMN adalah perusahaan milik negara di mana berkaca dari banyak kasus selama ini, setiap kali ada ancaman gagal bayar atau bangkrut, pemerintah seringkali tidak memiliki pilihan selain turun tangan menyelamatkan (bailout) maupun turun tangan dengan menyuntik modal tambahan.

Tambahan modal diambil dari anggaran negara yang notabene dibiayai juga oleh pajak masyarakat. Itu yang terlihat dalam kasus seputar BUMN sektor karya yang menghadapi skandal utang besar akibat proyek infrastruktur nan ambisius di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 2014-2024. Beberapa bank BUMN juga muncul sebagai pemberi pinjaman utama dari BUMN sektor infrastruktur. 

Beberapa proyek bahkan secara jelas memakai APBN sebagai jaminan, seperti proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang mengalami pembengkakan biaya (overrun) dan membuat kreditur utama yakni China meminta jaminan dari negara.

Lonjakan utang sektor publik itu menjadi salah satu hal yang dicermati secara dekat oleh para investor, terutama  ketika pemerintahan Prabowo berniat mengerek batas rasio utang demi membiayai berbagai program populis yang butuh dana tak kecil. 

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo pada 7 Oktober menyatakan, pemerintah Prabowo mungkin tidak menaikkan rasio utang terhadap PDB secara mendadak, melainkan secara bertahap.

Hashim bilang, pemerintah bakal lebih berani dalam utang tersebut, tetapi tetap berada dalam level yang diatur di undang-undang sebesar 60%.

Keberanian itu dilatari oleh pemahaman bahwa rasio utang RI saat ini dinilai masih cukup rendah. Malaysia misalnya rasio utangnya 61%, Filipina 57%, dan Thailand 54%.

Namun, menaikkan rasio utang hingga mendekati batas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang di angka 60% dari PDB, membutuhkan kehati-hatian besar. Itu karena dari sisi penerimaan pajak, Indonesia masih terbilang kecil. Eksposur utang yang terlalu tinggi ketika sisi penerimaan kecil bukan hal yang sehat.

Sebagai gambaran, penerimaan pajak dalam beberapa bulan terakhir melambat. Sampai November lalu, penerimaan pajak hanya naik 1% year-on-year. Yaitu sebesar Rp1688,93 triliun. Kinerja penerimaan pajak itu setara 84,92% dari total target penerimaan pajak sepanjang 2024.

Penerimaan pajak yang melemah itu terutama karena penerimaan pajak penghasilan minyak dan gas (PPh Migas) yang mengalami turun hingga 8,03% year-on-year dan masih di bawah target karena hanya mencakup 77,1% dari target tahun 2024. 

Untuk 2025, dengan keputusan pemerintah membatalkan kenaikan PPN jadi 12% hanya 6 jam sebelum pemberlakuan, potensi penerimaan negara hanya bertambah Rp3,2 triliun dengan skema baru. Sementara potensi penerimaan yang tadinya ditaksir mencapai Rp75 triliun, pupus. 

(rui/aji)

No more pages