Logo Bloomberg Technoz

Sepanjang 2024, rupiah membukukan depresiasi 4,82% secara point-to-point. Ini membuat rupiah menjadi mata uang terlemah di antara negara-negara ASEAN–5.

Ringgit Malaysia jadi yang terbaik dengan penguatan 2,49%. Sementara dolar Singapura, baht Thailand, dan peso Filipina masing-masing melemah 3,19%, 0,33%, dan 4,77%.

USD/IDR (Sumber: Bloomberg)

Dolar Terlalu Kuat

Apa boleh buat, dolar AS tahun ini memang begitu kuat. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang negara-negara berkembang pun melemah. 

Bloomberg News mengabarkan, bank sentral Filipina membuat bank sentral bersiaga penuh dan menggelontorkan intervensi. Sementara bank sentral Brasil bahkan ‘membakar’ US$ 17 miliar pada pertengahan Desember untuk meredam kejatuhan mata uang real.

Di Indonesia, BI juga berkali-kali menyebut menjaga pasar dengan sekuat tenaga untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. BI melakukan intervensi di 3 pasar yaitu spot, Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan pasar obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN).

Di Eropa, bank sentral Hungaria bahkan melakukan upaya lebih jauh dengan menaikkan suku bunga acuan.

Indeks mata uang MSCI Emerging Markets (Sumber: Bloomberg)

Sejak akhir September, indeks MSCI Emerging Markets Currency jatuh lebih dari 3%. Ini menjadi koreksi kuartalan terdalam selama 2 tahun terakhir.

“Sulit untuk melawan tren penguatan dolar AS. Intervensi hanya bisa meredam depresiasi nilai tukar. Jadi, bank sentral harus menggunakan kombinasi verbal dan intervensi,” kata Christopher Wong, Currency Strategist di OCBC yang berbasis di Singapura.

Pada 2025, rasanya tren penguatan dolar AS belum berhenti. Pelaku pasar mengantisipasi kebijakan Presiden Donald Trump di AS, di mana kebijakan fiskal kemungkinan akan agresif.

Saat fiskall agresif, maka pemerintah AS akan semakin aktif mengakses pasar untuk mencari pembiayaan. Penerbitan obligasi akan bertambah, sehingga imbal hasil (yield) akan naik. Akibatnya, preferensi investor akan tetap ke dolar AS karena menjanjikan cuan besar.

Selain itu, Trump juga diperkirakan bakal melancarkan kebijakan luar negeri yang agresif. Dengan jargon Make America Great Again, tarif bea masuk untuk impor dari berbagai negara akan dinaikkan.

Hasilnya, harga barang dan jasa di Negeri Adikuasa akan naik. Laju inflasi pun kemungkinan bisa terakselerasi.

Ini akan membuat ruang pelonggaran moneter oleh bank sentral Federal Reserve menjadi terbatas. Sepertinya sulit berharap suku bunga acuan bisa turun seperti tahun ini, yang mencapai 100 basis poin (bps).

“Tren bullish dolar AS akan didukung oleh sikap The Fed yang lebih tidak dovish. Dalam periode ini, bank sentral harus siap untuk meredam volatilitas dan mencegah guncangan,” tegas Alan Lau, FX Strategist di Malayan Banking Berhad yang berbasis di Singapura.

(aji)

No more pages