Aktivitas yang patut diwaspadai terjadi di masa depan ini berbasis “serangan rekayasa sosial [yang] semakin sulit dideteksi.”
Rekayasa sosial termasuk implementasi deepfake canggih, yang dihasilkan AI dan suara sintetis. Sebuah operasi yang dapat memungkinkan pencurian identitas, penipuan, dan gangguan protokol keamanan.
AI mengambil peran otomatisasi juga masuk pada pola-pola serangan ransomware, “dimana penyerang akan semakin banyak menggunakan aplikasi dan alat tepercaya untuk menyampaikan kampanye ransomware.”
“Penjahat dunia maya akan mempersiapkan kriptografi pasca-kuantum dengan mengadaptasi kemampuan ransomware untuk ketahanan masa depan,” Pratama mengingatkan.
Tren keamanan siber juga diprediksi jadi ancaman serius rantai pasok. Para penjahat maya akan menargetkan ekosistem sumber terbuka, mengeksploitasi ketergantungan kode untuk mengganggu organisasi.
“Lingkungan cloud akan menjadi target utama karena penyerang mengeksploitasi titik lemah dalam rantai pasokan cloud yang kompleks. Selain itu peretas akan menargetkan perusahaan pihak ketiga sebagai pintu masuk serangan kepada perusahaan besar yang diincarnya,” tutur Pratama.
Aksi spionase dan eskalasi perang siber juga akan tumbuh di tengah ketegangan geopolitik. CISSReC lebih menyorot kekuatan empat negara (Big Four) yaitu Rusia, China, Iran, Korea Utara terkait kejahatan dunia maya ini.
Disinformasi juga akan terus selaras dengan kepentingan geopolitik. “Serangan siber yang didorong oleh agenda ideologis atau politik akan meningkat, menargetkan pemerintah, bisnis, dan infrastruktur penting,” pungkas dia.
(prc/wep)