Mengutip data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga sejumlah bahan pangan memang turun lumayan drastis. Pada Desember, rata-rata harga cabai merah keriting adalah Rp 35.440/kg. Ambruk 44,93% dibandingkan Desember tahun lalu.
Kemudian rerata harga cabai rawit merah bulan ini adalah Rp 43.510/kg. Berkurang 48,51% ketimbang periode yang sama tahun lalu.
Lalu harga tepung terigu curah pada Desember ada di Rp 10.110/kg. Turun 6,93% dari posisi Desember 2023.
Begitu pula harga ikan tongkol, yang pada Desember ini rata-ratanya adalah Rp 31.760/kg. Terpangkas 4,16% dalam setahun.
Sementara harga ikan bandeng pada Desember adalah Rp 33.640/kg. Turun tipis 0,97% dibandingkan Desember tahun lalu.
“Ini merupakan hal yang baik karena sesuai dengan tujuan kita untuk menjaga daya beli di masyarakat yang tidak boleh tergerogoti oleh harga-harga yang meningkat,” tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, belum lama ini.
Dalam kesempatan yang sama, Bendahara Negara juga membandingkan inflasi di Indonesia dengan negara-negara lainnya. Tidak banyak yang mampu meredam inflasi di bawah 2%, bahkan inflasi di negara-negara seperti Argentina atau Turki melonjak luar biasa.
“Banyak negara maju menggunakan level (inflasi) 2%, ini adalah level dari inflasi yang dianggap masih mampu menciptakan optimisme,” ucapnya.
Daya Beli Lesu?
Namun di sisi lain, sudut pandang kedua, adalah inflasi yang rendah menjadi cerminan kelesuan daya beli rakyat. Penurunan kondisi ekonomi membuat rakyat menahan konsumsi sehingga dunia usaha terpaksa tidak menaikkan harga terlalu tinggi, atau bahkan menurunkannya.
Hal ini tercermin dari proporsi penghasilan yang dikeluarkan untuk konsumsi (propensity to consume). Pada November, rasionya adalah 74,4%. Turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 74,4%.
Sepanjang 2023, rata-rata propensity to consume adalah 75,27%. Tahun ini hingga November, rata-ratanya ada di 73,82%. Jadi, memang ada gejala yang jelas bahwa rakyat mengerem konsumsi.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson melihat rendahnya inflasi di Indonesia terutama karena permintaan yang masih lesu.
“Tekanan harga dari sisi permintaan memudar, dengan penelusuran kami menunjukkan adanya pelemahan konsumsi, investasi, dan manufaktur,” kata Henderson dalam risetnya.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai inflasi rendah, apalagi sampai deflasi, apapun sebabnya merupakan hal negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, hal ini menunjukkan pemerintah tidak berhasil mengantisipasi perubahan.
"Sangat kuat tendensi bahwa inflasi rendah dipicu oleh penurunan daya beli, apalagi tren deflasi terjadi sepanjang Mei, Juni, Juli, Agustus, September. Sangat sulit diterima pandangan bahwa terjadi suplai berlebih pada 5 bulan itu," tegas Wijayanto.
Menurut dia, pandangan terkait penurunan daya beli ini semakin kuat melihat indikator lain seperti Purchasing Managers Index (PMI) yang konsisten di bawah 50. S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan PMI di Indonesia berada di 49,6 pada November.
Angka ini memang membaik ketimbang Oktober yang sebesar 49,2. Namun PMI di bawah 50 berarti aktivitas sedang mengalami kontraksi, bukan ekspansi. PMI manufaktur Indonesia sudah 5 bulan beruntun berada di bawah 50.
"Artinya produsen tidak optimis bahwa permintaan terhadap produk mereka akan meningkat," kata Wijayanto.
(aji)