Logo Bloomberg Technoz

Wacana pengetatan BBM bersubsidi sempat nyaris dieksekusi pada 17 Agustus 2024, seperti diungkapkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan; yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Melalui unggahan pada akun Instagramnya, Luhut mengatakan penyaluran BBM bersubsidi—seperti Solar dan Pertalite — bakal mengurangi jumlah penerima yang tidak berhak.

Menurut Luhut, PT Pertamina (Persero) juga tengah menyiapkan upaya agar penyaluran BBM subsidi dapat lebih tepat sasaran.

“Pemberian subsidi yang tidak pada tempatnya. Nah, itu sekarang Pertamina sedang menyiapkan itu. Kita berharap 17 Agustus ini kita sudah mulai, di mana orang yang tidak berhak mendapatkan subsidi itu akan bisa kita kurangi,” ujar Luhut dalam unggahan di akun Instagram resmi, Selasa (9/7/2024). 

Wacana itu gagal. Lalu, muncullah retorika bahwa Pertalite akan dibatasi mulai 1 Oktober 2024, yang mencuat dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia usai rapat bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (27/8/2024).

"Memang ada rencana begitu," ujarnya saat dimintai konfirmasi apakah pengaturan distribusi BBM bersubsidi tersebut bakal dimulai pada 1 Oktober 2024. "Karena begitu aturannya keluar, permennya keluar, itu kan ada waktu untuk sosialisasi. Nah, waktu sosialisasi ini yang sekarang saya lagi bahas."

Bahlil juga menyebut kebocoran subsidi BBM yang tidak tepat sasaran mencapai 30% atau sekitar Rp100 triliun dari total subsidi energi.

Namun, lagi-lagi wacana pembatasan tersebut batal lantaran pemerintah tidak kunjung selesai menggodok aturan teknisnya sesuai tenggat yang dijadwalkan pada awalnya.

Skema Kombinasi

Dalam perkembangannya, Bahlil lantas mengumumkan sebagian subsidi BBM akan disalurkan melalui skema BLT, alias dilakukan secara kombinasi atau blended.

Adapun, selepas subsidi BBM dibuat menjadi subsidi langsung, maka seluruh BBM akan dijual seusai dengan harga keekonomiannya, mengacu kepada pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas).

Artinya, Pertalite yang selama ini digawangi melalui skema dana kompensasi di harga Rp10.000/liter juga berisiko naik harga.

Perlu  digarisbawahi, subsidi BBM tidak akan sepenuhnya dicabut; tetapi ada sebagian yang dialihkan ke dalam format bantuan uang kepada masyarakat, sedangkan sisanya tetap menggunakan skema subsidi berbasis kuota terhadap komoditas/barang.

“Nanti Bapak Presiden [Prabowo Subianto] insyallah dengan kami akan mengumumkan, jadi skemanya ini kemungkinan besar itu blending antara ada subsidi barang dan sebagian subsidi BLT,” kata Bahlil kepada awak media, Rabu (27/11/2024).

Dia pun menggarisbawahi bahwa perubahan skema tersebut tidak berarti pemerintah akan mencabut anggaran subsidi BBM. “Semuanya ada subsidi, cuma selama ini kan kita tahu, bahwa subsidi ini ditengarai sebagian tidak tepat sasaran,” lanjutnya.

“[Kalangan] yang berhak mendapat subsidi inilah saudara-saudara kita yang memang, mohon maaf, ekonominya menengah ke bawah. Sekarang, setelah kita exercise oleh BPS [Badan Pusat Statistik], sekarang sudah satu data. Kita pastikan ada satu data, artinya yang berhak menerima [subsidi BBM] itu pas,” tegas Bahlil.

SPBU Pertamina./Bloomberg-Dimas Ardian

Polemik Ojol

Mengutip penjelasan Bahlil pada kesempatan yang sama akhir November, berdasarkan dua skema tersebut, penerima manfaat untuk subsidi BBM berbasis barang langsung kemungkinan hanya akan menyasar kendaraan pelat kuning alias transportasi umum.

Artinya, kendaraan di luar kriteria itu tidak akan diizinkan mengakses Pertalite.

Dalam hal ini, Bahlil berpendapat bahwa ojek online (ojol) tidak termasuk dalam kriteria transportasi umum karena menggunakan pelat hitam.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi, Bahlil juga menyebut pengemudi ojol tetap bisa mendapatkan subsidi dengan skema satunya lagi, yaitu BLT, jika yang bersangkutan memang memenuhi kriteria.

Gelombang Protes

Selang sepekan dari pernyataan Bahlil tersebut, kalangan pengemudi ojol mengancam untuk melakukan demo besar-besaran menyusul dugaan pemerintah akan mencabut akses subsidi BBM jenis Pertalite kepada pengemudi ojek daring.

"Jika sampai ojol tidak dapat menerima atau mengisi BBM bersubsidi nanti, maka pastinya akan terjadi gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia untuk memprotes keputusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ini," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono mengatakan saat dihubungi, Selasa (3/12/2024).

"Pernyataan yang disampaikan Bahlil ini merupakan pernyataan menantang," kata dia.

Kategori UMKM

Bahlil lalu memberi isyarat bahwa pengemudi ojol akan tetap diizinkan membeli BBM bersubsidi jenis Pertalite. Hal ini merespons gejolak di kalangan pengemudi ojol yang menolak rencana pemerintah untuk tidak akan memberikan akses BBM bersubsidi kepada angkutan umum dengan pelat hitam.

Bahlil menyebut ojol kemungkinan akan dimasukkan ke dalam kategori usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM), sehingga berhak mendapatkan BBM bersubsidi.

“Terkait dengan UMKM, semua UMKM itu kemungkinan besar akan disubsidikan secara barang. Jadi kalau dia minyak, kita tidak akan mengalihkan ke BLT. Nah, ojol itu akan masuk dalam kategori UMKM,” kata Bahlil di sela acara Indonesia Mining Summit 2024, Rabu (4/12/2024).

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat konferensi pers kebijakan subsidi energi, Senin (4/11/2024)./Bloomberg Technoz-Dovana Hasiana

Tinggal Diumumkan

Pertengahan bulan ini, Bahlil menegaskan progres kebijakan pengalihan sebagian subsidi BBM menjadi BLT sudah mencapai 99%. Dia pun memastikan akan mengumumkannya pada 2025.

“Sekarang sudah hampir selesai nanti kita umumkan 2025. Progresnya sudah 99%,” kata Bahlil, ditemui usai konferensi pers di kantor BPH Migas, Kamis (19/12/2024).

Namun, Bahlil enggan memberikan komentar lebih jauh terkait dengan kapan kepastian pengumuman pengalihan sebagian subsidi BBM tersebut.

Dia hanya menuturkan data penerima BLT akan disampaikan oleh BPS. Saat ini, Kementerian ESDM masih menunggu data tersebut kemudian akan didiskusikan kembali.

“Salah satu yang berpotensi untuk formulasinya seperti itu ya [BLT]. Akan tetapi, jangan dahulu saya umumkan sekarang, yang berhak mengumumkan itu tunggu keputusan dari Bapak Presiden [Prabowo Subianto],” jelas Bahlil. 

Konsumen membeli Pertalite di SPBU Pertamina./Bloomberg-Dimas Ardian

Risiko Mengintai

Di sisi lain, Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi Purnomo Yusgiantoro memperingatkan rencana pemerintah mengalihkan sebagian anggaran subsidi BBM ke format BLT akan direspons oleh resistensi dari berbagai kalangan.

Bagaimanapun, dia menilai tanggapan kontra tersebut merupakan konsekuensi wajar yang harus dihadapi pemerintah jika ingin serius menghemat anggaran negara untuk mendanai subsidi energi, yang acapkali dinilai tidak tepat sasaran.

“Keputusan ini kan harus menjadi keputusan yang tidak hanya [berasal] dari eksekutif [pemerintah], tetapi juga dari legislatif [DPR], karena itu menyangkut masalah yang sangat sensitif,” ujarnya di sela agenda Ecofest 2024 oleh Bloomberg Technoz, Kamis (28/11/2024).

Purnomo, yang juga mantan Menteri ESDM periode 2000—2009, mengatakan rencana kebijakan pengikisan subsidi BBM sebenarnya sudah pernah digaungkan di Indonesia sejak lebih dari 20 tahun lalu.  

“Itu pernah kita lakukan dahulu pada 2000-an, tetapi memang pada waktu itu keadaannya sulit sekali. Waktu itu kita kena krisis dan harga minyak tinggi. Kalau kita tidak lakukan ini [melepas sebagian alokasi subsidi BBM], bisa kolaps negara kita,” terangnya.

Namun, kalangan ekonom berpendapat sebaiknya wacana peralihan subsidi BBM menjadi BLT tidak dieksekusi pada 2025, atau setidaknya pada 2026 saja.

Pemerintah dinilai ‘egois’ jika mengeksekusi wacana tersebut pada 2025, lantaran tidak melihat fakta kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang makin terpuruk.

“Kalau misalkan lihat ya mungkin jangan tahun ini sama tahun depan lah ya. Mudah-mudahan ada perbaikan ekonomi, mungkin pada 2026 kalau misalkan kita lihat economic recovery,” kata ekonom energi dari Universitas Padjajaran Yayan Satyakti.

Yayan menilai utak-atik skema subsidi BBM dinilai makin membebani mayoritas masyarakat Indonesia ke depan, yang sudah terancam beban-beban lain. Ditambah, menurut Yayan, penetapan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5% dinilai kurang cukup mengatrol daya beli masyarakat.  

“Karena dengan situasi permintaan yang lemah, kemudian juga biaya-biaya yang tinggi, sehingga kita agak repot untuk memberikan ruang khususnya agar konsumsi itu bisa bertahan,” tutur Yayan. 

Di sisi lain, pengalihan subsidi BBM menjadi BLT—jika dilakukan secara bertahap dan tidak drastis — sebenarnya dinilai bisa efektif karena daya beli dan pendapatan masyarakat yang turun. Yayan berujar insentif dari pemerintah cukup menolong masyarakat, tetapi hanya untuk golongan menengah bawah dan bawah. 

“Itu pasti akan memiliki impact yang besar ya. Jadi kalau misalkan itu [subsidi BBM] dicabut sepenuhnya, agak mengkhawatirkan juga,” ujarnya.

Menurut Yayan, skema blended yang direncanakan pemerintah—sebagaimana disampaikan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia — tak lain ditujukan agar BBM bersubsidi tepat sasaran.

Permasalahannya, data penerima BLT menjadi persoalan acapkali tidak akurat dan sesuai target. Jika permasalahan data tersebut tidak diatasi, masyarakat golongan menengah ke bawah yang tidak mendapatkan BLT akan tertekan.

“Tetapi yang sisanya yang tidak [dapat BLT]  memang relatif sulit untuk dipilih ya ini dan juga mereka agak keteteran kalau misalkan nanti terjadi multi round effect yaitu inflasi. Nah itu juga mungkin bisa diredam.”

Pemotor memadati SPBU Pertamina di Pangkal Pinang untuk mengisi BBM (Dimas Ardian/Bloomberg)

Derita Kelas Menengah

Kontroversi lain yang merundungi wacana peralihan subsidi BBM menjadi BLT adalah siapa pihak yang berhak mengakses Pertalite.

Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menilai kelompok yang boleh menerima BLT, sebagai pengganti subsidi BBM, di mata pemerintah hanyalah masyarakat miskin dan rentan miskin

"Kalau kelas menengah, justru pemerintah selama ini menyalahkan kelas menengah karena telah ikut menikmati subsidi energi," ujar Ronny.

Pada kenyataannya, jika subsidi dialihkan, maka harga BBM akan naik dan kelas menengahlah yang sejatinya akan menanggung beban lebih besar lantaran merekalah konsumen terbesar Pertalite di Indonesia.

Risikonya, kelas menengah akan mengurangi pengeluaran lain yang akan berimbas kepada makin tertekannya konsumsi rumah tangga, lalu akan kembali menekan pertumbuhan ekonomi. 

Menurut Ronny, setelah pertumbuhan ekonomi diumumkan hanya 4,95% pada kuartal III-2024, sebaiknya pemerintah memikirkan ulang untuk melakukan peralihan subsidi energi dalam waktu dekat.

"Mungkin dipertimbangkan [...] setelah kondisi daya beli masyarakat benar-benar terlihat mulai pulih, karena imbas dari pencabutan subsidi adalah kenaikan harga jual BBM. Kalau harga BBM naik, maka harga-harga barang dan jasa akan ikut naik, karena selama ini BBM dianggap sebagai pengendali harga," ujarnya.

Kenaikan harga barang-barang ini akan membuat daya beli makin tertekan, yang akan memaksa para kelompok buruh dan pekerja untuk meminta menaikkan upah lebih tinggi lagi.

"Kalau itu terjadi, maka investor akan kelimpungan dan investasi akan melambat, lalu kembali menekan pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan mengganggu penyerapan tenaga kerja baru di sisi lain, karena investasi melambat," ujarnya.

Potensi penghematan negara dari pembatasan Pertalite./dok. Indef
Penghematan Besar

Bagaimanapun, rencana pengalihan subsidi BBM menjadi BLT untuk membatasi distribusi Pertalite agar lebih tepat sasaran tetap dinilai jitu; jika tujuan pemerintah adalah untuk menghemat anggaran negara.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengestimasikan penghematan anggaran negara untuk subsidi energi bisa mencapai Rp32,14 triliun, jika akses BBM bersubsidi—khususnya Pertalite — dibatasi untuk mobil.

Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menjelaskan, berdasarkan riset lembaganya, jika semua kendaraan pelat hitam dibatasi aksesnya terhadap BBM bersubsidi, pemerintah bisa menghemat anggaran hingga Rp34,24 triliun.

Sementara itu, jika Pertalite hanya dibatasi untuk mobil berkapasitas tangki 60 liter, negara bisa menghemat Rp17,71 triliun. Adapun, jika jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) itu dibatasi untuk mobil lebih dari 1.400 cc, pemerintah bisa menghemat Rp14,81 triliun. 

Di sisi lain, Esther menyebut, Indef juga sudah melakukan kajian pada tahun lalu terkait dengan dampak pembatasan Pertalite.

Dalam kaitan itu, jika semua kendaraan pelat hitam dibatasi mendapatkan Pertalite; penghematan fiskal akan tinggi, cukup mudah diimplementasikan, dan cukup sedang porsi keadilannya bagi masyarakat.

“Sedangkan jika mobil saja yang dibatasi, maka anggaran fiskal yang bisa dihemat besar [tinggi], implementasi mudah, tetapi rasa keadilannya rendah karena motor juga ada yang cc-nya besar dan harga jualnya mahal,” ujar Esther.

Sementara itu, jika BBM subsidi dibatasi untuk mobil berkapasitas tangki 60 liter; penghematan fiskal rendah, cukup bisa diimplementasikan, dan cukup sedang porsi keadilannya bagi masyarakat.

Kemudian, jika Pertalite dibatasi untuk mobil lebih dari 1.400 cc; penghematan fiskal rendah, tetapi tingkat kemudahan implementasi cukup tinggi, dan rasa keadilan yang tinggi di masyarakat.

Meski menghemat anggaran fiskal, Esther menggarisbawahi, opsi pembatasan Pertalite akan menurunkan daya beli masyarakat dan kinerja perekonomian pun berisiko makin terkontraksi.

Sekadar catatan, pemerintah menetapkan anggaran subsidi energi sebesar Rp203,4 triliun dalam APBN 2025, turun dari rencana awal senilai Rp204,5 triliun. Dari pagu tersebut, alokasi untuk subsidi BBM dipatok sebanyak Rp26,7 triliun, sedangkan LPG 3kg Rp87 triliun. Sementara itu, subsidi listrik dijatah Rp89,7 triliun.

Dari sisi volume, kuota BBM bersubsidi tahun depan ditetapkan sebanyak 19,41 juta kiloliter (kl), turun dari pagu tahun ini sebanayk 19,58 juta kl. Perinciannya, jenis bahan bakar tertentu (JBT) Solar sebanyak 18,89 juta kl dan minyak tanah 0,52 juta kl.

Kuota Solar hanya turun tipis dari pagu APBN 2024 sebanyak 19 juta kl, sedangkan volume minyak tanah dipangkas dari 0,58 juta kl. Adapun, total pagu BBM bersubsidi dalam APBN 2024 adalah sebanyak 19,58 juta kl dengan outlook realisasi sebanyak 18,19 juta kl. 

Untuk JBKP Pertalite—yang menggunakan skema kompensasi — Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sebelumnya mengusulkan agar kuota 2025 diberikan sebanyak 31,33 juta—33,23 juta kl. Prognosis volume Pertalite berada di 31,51 juta kl pada 2024. Angka ini di bawah kuota yang ditetapkan sebanyak 31,7 juta kl dalam APBN 2024.  

(wdh)

No more pages