Butuh Stimulus
Haykal menyebut pemerintah perlu memberikan stimulus bagi sejumlah investor untuk menggenjot industri hilir tembaga di Indonesia. Dengan demikian, rantai pasok atau ekosistem tembaga bisa lebih dikendalikan di dalam negeri alih-alih disetir dari luar negeri.
“Jadi pasokan segala macam itu jika ada global decrease atau perkembangan secara global itu tidak akan terlalu terpengaruh. Kenapa? Karena di lokalnya kita sudah punya market sendiri,” tutur Haykal.
Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih cepat bertindak dan memiliki rencana aksi untuk mengejar target hilirisasi tembaga tersebut. Di sisi lain, belum banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di sektor hilir tembaga.
“Jadi belum ada yang punya kapasitas atau punya kemampuan investor yang bisa memulai untuk membangun hilirisasi katoda tembaga yang sudah diproduksi di Indonesia,” jelas Haykal.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas menilai masih banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas dari upaya hilirisasi sektor pertambangan tembaga di Indonesia, khususnya dari aspek serapan pasar di dalam negeri.
Pada saat penambang dituntut oleh pemerintah untuk menggenjot investasi smelter katoda, Tony menilai kesiapan industri domestik dalam menyerap produk yang dihasilkan oleh pabrik pemurnian dan pengolahan atau smelter tersebut masih belum cukup agresif.
Dia mencontohkan kasus yang dialami langsung oleh Freeport, di mana perseroan diminta untuk membangun smelter tembaga pertama pada 1997 melalui PT Smelting, melalui kerja sama dengan Mitsubishi Corp, untuk menghasilkan konsentrat.
Kemudian, Freeport diminta lagi untuk membangun smelter katoda tembaga di Manyar, Gresik, Jawa Timur senilai Rp56 triliun untuk mengolah konsentrat menjadi katoda. Jaraknya hanya berselang 10 km dari smelter terdahulu.
“Artinya, itu telah terjadi dua kali ekspansi, sehingga saat ini kapasitas input-nya 1,3 juta ton konsentrat [tembaga], dan kapasitas output-nya 330.000 ton katoda tembaga. Sejak kira-kira 10 tahun yang lalu, itu 50%-nya masih diekspor,” ujar Tony di agenda Indonesia Mining Summit, awal bulan ini.
Saat kapasitas output katoda tembaga Freeport akhirnya dinaikkan untuk bisa mencapai 600.000 ton per tahun, lanjut Tony, industri di dalam negeri belum siap untuk menyerap produksi tersebut.
“Karena yang sudah ada sekarang saja belum diserap, apalagi yang baru. Jadi memang PR kita bersama agar hilirisasi dari tambang, dari perusahaan tambang ini kan sampai 99,9%, kemudian dari situ bisa diserap ke manufaktur,” ujarnya.
Pabrik Foil
Lebih lanjut, Tony menjelaskan saat ini di kawasan industri JIIPE—lokasi smelter katoda tembaga Freeport berada — sebenarnya sudah ada satu pabrik foil tembaga yang mampu menyerap 100.000 ton katoda yang dihasilkan smelter Manyar.
Pabrik foil tembaga PT Hailiang di Manyar itu diklaim menjadi terbesar di Asia Tenggara. Pabrik tersebut digunakan sebagai pengumpul arus listrik di kutub negatif (anoda) baterai kendaraan listrik atau EV. Pabrik ini memproduksi foil tembaga electrodeposit untuk kendaraan listrik bertenaga baterai litium.
Permasalahannya, daya serap pabrik tersebut hanya mencakup seperenam dari total produksi katoda yang dihasilkan dari smelter Freeport.
“Jadi kalau kami akan produksi 600.000 ton [katoda], ya kami perlu kira-kira 6 perusahaan seperti itulah yang bisa mengonsumsi produk katoda tembaga kami, supaya betul-betul yang dikatakan ekosistem dari hilirisasi itu hidup. Terutama perusahaan yang berkaitan dengan ekosistem kendaraan listrik,” kata Tony.
(mfd/wdh)