Logo Bloomberg Technoz

Kebijakan pemanfaatan minyak kelapa sawit sebagai bahan campuran bahan bakar minyak (BBM) sejatinya sudah berjalan sejak 2008 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.

Dalam aturan tersebut, penggunaan campuran biodiesel direncanakan bertahap hingga maksimal 20% pada 2025.

Penggunaan campuran biodiesel ini diterapkan pada sektor rumah tangga, transportasi public service obligation (PSO) dan non-PSO, industri dan komersial, serta pembangkit listrik. Meski mandatori biodiesel dalam campuran solar baru ditetapkan pada Oktober 2008.

Namun, penggunaan biodiesel sebagai campuran solar telah berjalan sejak 2006 dengan campuran biodiesel 5%.

2013

Kemudian, pada Agustus 2013 terbit Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati Sebagai Bahan Bakar Lain. 

Beberapa penyempurnaan dilakukan melalui aturan ini, salah satunya terkait dengan tahapan besaran pemanfaatan biodiesel. Melalui Permen ESDM No. 25/2013, campuran biodiesel ditingkatkan secara bertahap hingga maksimal 25% pada 2025.

Tangki penyimpanan biodiesel berbahan dasar kelapa sawit di Maribaya, Jawa Barat, Indonesia./Bloomberg-Dimas Ardian

2014

Pada Juli 2014 diterbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.

Melalui aturan ini dilakukan peningkatan mandatori pemanfaatan biodiesel, di mana campuran biodiesel ditargetkan mencapai 30%.

2015

Akselerasi selanjutnya melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.

Peraturan inilah yang sampai sekarang menjadi acuan dalam penerapan mandatori biodiesel. 

2016

Mandatori B20 yang diterapkan mulai 2016, menjadi terobosan penting bagi Indonesia, sebuah dobrakan biodiesel Indonesia. Ini merupakan implementasi B20 pertama karena pelaksanaannya dinilai cukup berhasil, khususnya pada sektor transportasi.

Tak berhenti sampai B20, pemerintah memperluas penggunaan B20 di semua sektor dan sekaligus memperluas insentif biodiesel sehingga tidak terbatas pada PSO saja. Ini kemudian menjadi mandatori B30. 

Biodiesel yang dikembangkan Indonesia./Bloomberg-Dimas Ardian

2020—2022

Kementerian ESDM saat itu menyebut implementasi biodiesel dinilai sukses dan telah menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pemanfaatan biodiesel dengan penerapan B30 pada 2020.

Nilai ekonomi dari implementasi B30 pada 2021 mencapai lebih dari US$4 miliar dan berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 25 juta CO2e.

"Program pengembangan biodiesel di Indonesia mencapai tonggak penting pada 2006 dengan menerapkan 2,5% pencampuran bahan bakar solar. Ini termotivasi melambungnya harga minyak akibat menipisnya pasokan minyak dunia. Di sisi lain, Indonesia memiliki cadangan minyak sawit yang melimpah. Dari titik itu, kecepatan pencampuran secara bertahap meningkat," ungkap mantan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 2022.

2023

Tidak berhenti hingga mandatori penggunaan B30, pemerintah memperluas mandatori biodiesel dari B30 menjadi B35 yang secara resmi diimplementasikan pada 1 Februari 2023. Landasan untuk perluasan mandatori biodiesel ini termaktub dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal EBTKE Nomor 10.E/EK.05/DJE/2022.

Uji coba biodiesel B40./dok. Kementerian ESDM

2024 

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan pemanfaatan B35 telah menghemat devisa negara sebesar Rp120,54 triliun di 2023. Program biodiesel telah memberikan dampak ekonomi yang signifikan.

Sekretaris Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Patuan Alfon Simanjuntak mengatakan B35 sudah mandatori pada Agustus 2023.

Dia optimistis pada 2025 pemanfaatan biodiesel tidak hanya akan menghemat devisa, tetapi juga mengurangi impor, sehingga dapat mendukung ketersediaan energi di dalam negeri.  

"Agar ketersediaan energi kita itu bisa dilakukan oleh kita sendiri atau dengan istilah swasembada energi," ujarnya di Kantor BPH Migas, Jumat (6/12/2024).

Pemerintah melalui Kementerian ESDM lalu mempersiapkan berbagai kebutuhan esensial dalam peluncuran biodiesel B40 yang direncanakan pada 1 Januari 2025.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, biodiesel B40 sudah selesai tes uji coba. Bahlil juga memastikan pada 1 Januari 2025, B40 siap diimplementasikan.

“B40 sudah bisa running, insyallah [1 Januari 2025]. Sudah selesai dites dan siap implementasinya,” kata Bahlil saat ditemui usai rapat terbatas dengan Kementerian Koordinator Bidang perekonomian, bulan lalu.

Bahlil juga menyebut, salah satu rancangan yang dilakukan yakni mempersiapkan semua konsep sampai B100 hingga lima tahun ke depan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

“Tetapi sudah berarti itu bertahap nanti kita akan laporkan,” tutur Bahlil. 

2026

Bahlil sebelumnya juga mengatakan Indonesia memiliki target implementasi program biodiesel B50 untuk bisa diterapkan pada 2026.

Dengan demikian, implementasi tersebut bakal berimplikasi positif terhadap impor solar Indonesia, di mana Indonesia tidak perlu melakukan impor bila program tersebut diterapkan.

"Pada 2026 menjadi B50, kalau kita sudah sampai di B50 maka kita tidak perlu impor Solar. Jadi sekarang selama produksi PT Pertamina [Persero] belum maksimal, kita masih impor," ujar Bahlil dalam agenda rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (13/11/2024).

​Selanggam, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga menargetkan program biodiesel 50 (B50) dapat mulai diimplementasikan pada 2026.

Dalam kaitan itu, Andi memastikan produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia sebagai bahan dasar untuk B50 ini mencukupi.

Amran menjelaskan bahwa saat ini produksi sawit mentah dalam negeri mencapai 46 juta ton. Sementara itu, kebutuhan untuk program B50 hanya mencapai 5,3 juta ton.

"CPO kita produksinya 46 juta ton, sekarang dalam negeri [kebutuhan] kita pakai 20 juta ton. Kita ekspor 26 juta ton, kalau kita mengambil 5,3 juta ton, berarti enggak ada masalah kan," kata Amrian dalam konferensi pers medio Oktober tahun ini.

Walau begitu, Amran mengatakan program B50 saat ini masih dalam tahap perencanaan. Pemerintah saat ini tengah memprioritaskan untuk implementasi B40 yang diwacanakan akan dimulai pada Januari 2025.

"Sekarang diutamakan B40 Januari sudah mulai, tapi untuk B50 kapasitas pabrik sudah cukup," imbuhnya.

(mfd/wdh)

No more pages