“Masih ada jeda 19% karena kapasitas maksimal mencapai 19 juta kl, sedangkan saat ini kita baru menggunakan 15,62 juta kl atau sekitar 81%. Ini wajar karena pabrik-pabrik masih perlu melakukan fine-tuning dan persiapan lainnya,” ujar dia.
Dia menekankan peningkatan kapasitas produksi menjadi keniscayaan. Sebab, implementasi B40 per 1 Januari 2025 merupakan salah satu cara untuk menekan impor BBM.
Selain peningkatan produksi, ESDM juga memastikan kesiapan fasilitas pencampuran atau blending di berbagai titik suplai.
"Persiapannya yaitu peningkatan kapasitas dari operasional pabrik karena tadinya 70% menjadi 80% lebih. Rata-rata kita dapatkan 81%. Jadi kapasitas pabrik itu pasti naik," jelas Eniya.
Hanya beberapa hari menjelang peluncuran B40, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung masih menyiratkan keraguan terhadap kelancaran implementasi program tersebut.
Dia mengatakan tantangan dalam mandatori biodiesel masih dihadapkan pada tantangan ketersediaan bahan baku, ditambah persoalan kondisi geografis yang beragam di Indonesia
Yuliot menyebut Kementerian ESDM terbuka terhadap masukan dari berbagai badan usaha untuk memastikan kelancaran implementasi program B40, yang diluncurkan lusa.
"Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait dengan tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40," kata Yuliot dalam keterangan resmi, akhir pekan lalu.
Terlalu Ambisius
Belum sampai B40 dieksekusi, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam sebuah kesempatan sudah menjanjikan program biodiesel generasi berikutnya—B50 — akan dipercepat dari target implementasi pada 2027 menjadi 2026.
Dia bahkan optimistis saat B50 diterapkan dua tahun lagi, Indonesia akan terbebas dari beban impor solar.
"Pada 2026 menjadi B50, kalau kita sudah sampai di B50 maka kita tidak perlu impor Solar. Jadi sekarang selama produksi PT Pertamina [Persero] belum maksimal, kita masih impor," ujar Bahlil dalam agenda rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI, medio November.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono memberikan gambaran volume penyediaan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dengan adanya program B35 saat ini saja sudah berada pada level 30,61 juta ton.
Seiring dengan pengembangan B40 dan B50, kata Eddy, penyediaan volume ekspor CPO Indonesia bisa makin tergerus masing-masing menjadi 28,27 juta ton dan 24,77 juta ton.
“Ini apabila produksi stagnan seperti sekarang maka akan terjadi penurunan ekspor,” ujar Eddy kepada Bloomberg Technoz.
Subsidi Kurang
Lebih lanjut, Gapki menggarisbawahi penurunan ekspor CPO tersebut akan berbanding lurus dengan penurunan dana pungutan ekspor (PE) yang digunakan untuk membiayai program mandatori biodiesel di dalam negeri.
Sekadar catatan, ekspor CPO memang berhubungan erat dengan pengembangan biodiesel. Pasalnya, setoran pungutan ekspor dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk sebagian disalurkan guna mendanai produksi biodiesel.
“BPDPKS diamanatkan menanggung atau membayar selisih harga antara harga biodiesel dengan harga solar. Sekarang harga sawit untuk biodiesel relatif lebih tinggi daripada solar sehingga ada gap, ini yang kita tutup,” ujar Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman.
Selain berkurangnya anggaran untuk subsidi biodiesel, Gapki menilai, penerapan B50 juga memicu naiknya harga minyak nabati di tingkat internasional dan dalam negeri dan penerimaan pungutan ekspor serta bea keluar berkurang.
Pemerintah, di sisi lain, agaknya memiliki “solusi” sendiri untuk permasalahan-permasalahan tersebut. Mulai tahun depan, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif pungutan ekspor CPO demi menopang pendanaan program biodiesel di dalam negeri.
"Pendanaan dari dana yang ada BPDPKS. Pertama, kita menaikan ke 10% dan volumenya untuk public service obligation [PSO]," ujar Airlangga saat ditemui di kantornya, pertengahan Desember.
Menurut Airlangga, tarif pungutan ekspor itu bakal mulai berlaku saat peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengatur perubahan tersebut diterbitkan.
Saat ini, tarif pungutan ekspor CPO sebesar 7,5% dari harga referensi CPO Kementerian Perdagangan termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2024 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Sementara, tarif pungutan ekspor untuk produk olahan sawit lainnya berkisar antara 3% hingga 6% dari Harga Referensi CPO Kementerian Perdagangan.
Dari sisi pasokan, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan pemerintah bakal memangkas volume ekspor CPO sebanyak 5,3 juta ton/tahun untuk program biodiesel B50, demi menunjang ambisi swasembada energi Prabowo.
"Ekspor kita kan 26 juta ton/tahun. Kita untuk mencapai B35, lompat ke B50, butuh 5,3 juta ton/tahun. Kita proses tahun depan, mudah-mudahan paling lambat 2026 selesai" kata Amran kepada awak media di Gedung Kementerian Pertanian, akhir Oktober.
Dengan asumsi prioritas pemenuhan CPO di dalam negeri yang tercukupi, lanjut Amran, maka program B50—atau bauran Solar dengan 50% bahan bakar nabati — sebagaimana dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo dapat tercapai.
"CPO kita produksinya 46 juta ton/tahun. Sekarang dalam negeri kita pakai 20 juta ton/tahun. Kita ekspor 26 juta ton/tahun. Kalau kita mengambil 5,3 juta ton/tahun [untuk B50], berarti enggak ada masalah kan? Karena kita ekspor 26 juta ton/tahun," tegas Amran.
Efek Samping
Kegigihan pemerintah menggenjot program mandatori biodiesel di dalam negeri melalui utak-atik tarif pungutan ekspor dan pembatasan volume ekspor CPO bukan tanpa risiko.
Industry and Regional Analyst Bank Mandiri M. Billal menjelaskan kebijakan tersebut dapat menimbulkan permasalahan berupa kenaikan harga turunan CPO akibat risiko berkurangnya suplai minyak nabati dari Indonesia.
“Hal tersebut tentu bisa membuat harga produk turunan yang lebih tinggi lagi sepert minyak goreng,” kata Billal ketika dihubungi Bloomberg Technoz, Selasa (24/12/2024).
Kendati begitu, dia tidak menampik peningkatan pungutan ekspor dari 7,5% menjadi 10% memang dapat membantu memastikan kebutuhan biodiesel B40 tetap terjaga. Terlebih, banyak produsen CPO diperkirakan lebih memilih untuk menjual produknya ke pasar domestik.
Hanya saja, kebijakan tersebut tetap berisiko menurunkan daya saing atau competitiveness dari CPO Indonesia di pasar minyak nabati global. Pada akhirnya, kenaikan tarif pungutan ekspor justru berpotensi membuat ekspor CPO dan devisa negara menjadi lesu.
Lebih lanjut, Billal memandang peningkatan pungutan ekspor dapat efektif jika ekspor CPO Indonesia bisa dipertahankan dan volumenya tidak menurun. “Justru jika hal itu terjadi akan sangat positif dari segi penerimaan,” tegasnya.
Meski begitu, dia menegaskan jika terjadi penurunan ekspor CPO, penurunan suplai minyak nabati di pasar global akan menurun dan pada akhirnya meningkatkan harga yang terlalu tinggi untuk bahan baku B40.
“PE ini dapat berhasil jika ekspor CPO Indonesia bisa dipertahankan dan tidak menurun,” Billal menegaskan.
Setala, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan sempat menyoroti rencana peningkatan bauran biodiesel hingga menjadi B50, jika tanpa diimbangi peningkatan produksi CPO, berisiko memicu kenaikan harga minyak goreng di pasar domestik.
"Kalau misalnya kita meningkatkan bauran [biodiesel] menjadi B50 tanpa ada peningkatan produksi itu, maka tidak akan terjadi keseimbangan itu antara pasokan di dalam negeri dengan ekspor. Jadi akan terjadi penurunan ekspor dan berimplikasi kepada peningkatan harga," jelas Fadhil dalam diskusi daring Indef, akhir Oktober.
Dengan demikian, Fadhil mengingatkan bahwa kebijakan mandatori biodiesel harus dilakukan dengan kajian menyeluruh untuk menghindari disrupsi di pasar minyak nabati global dan dampak negatif bagi masyarakat Indonesia.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi, Dovana Hasiana, dan Azura Yumna Ramadani Purnama
(wdh)