Logo Bloomberg Technoz

Komoditas yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik tersebut telah menjadi salah satu logam yang berkinerja terburuk di antara logam industri di bursa LME tahun ini.

Pada saat yang sama, papar mereka, prospek ekonomi global yang lemah di negara-negara besar akan menjaga permintaan tetap rendah. Walhasil, peningkatan surplus nikel global masih membayangi pada tahun ini.

“Kami memperkirakan pasar nikel akan tetap mengalami surplus pada 2024, dengan level keseimbangan sekitar 263 kiloton [kt], di tengah peningkatan pasokan yang signifikan dari Indonesia. Sementara itu, prospek ekonomi global yang lemah menimbulkan risiko penurunan permintaan,” kata para periset BMI.

Masalah Oversupply

Pasokan dari Indonesia telah memenuhi pasar global dan menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam pasokan nikel global, dengan produksi diperkirakan melonjak dari 2,4 juta ton pada 2019 menjadi 4,3 juta ton pada 2024.

Indonesia kini muncul sebagai produsen utama nikel olahan di tingkat global, berkat perusahaan-perusahaan dalam dan luar negeri yang dengan cepat memperluas kapasitas produksi pabrik pengolahan dan pemurnian.

“Kami memperkirakan Indonesia akan mempertahankan posisinya sebagai produsen nikel olahan terdepan selama periode 2024—2033, dengan produksi diproyeksikan meningkat dari 1,7 juta ton pada 2024 menjadi 3,8 juta ton pada 2033.” 

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan saat ini Indonesia berperan sekitar 53% sampai 65% dari total produksi dan suplai nikel dunia.

Dia menyebut produksi tambang nikel Indonesia pada 2023 mencapai hampir 2 juta metrik ton (mt). Hal tersebut memicu gelombang kelebihan pasokan di pasar global yang mendorong tren penurunan harga nikel lebih lanjut.

Produsen nikel terbesar di dunia./dok. Bloomberg


“Pada 2024, [produksi nikel RI] menurun sebenarnya. Kita over tahun lalu, tetapi tahun ini agak direm karena ada masalah RKAB dan masalah kekurangan bahan baku. Sebenarnya ini masukan kami kepada pemerintah juga, supaya [produksi nikel] jangan over. Itu kan kembali ke produksi bijih nikel,” kata Meidy kepada Bloomberg Technoz, belum lama ini.

Meidy pun sepakat jika pemerintah hendak memangkas kuota produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel, dengan catatan volume pembatasannya tidak terlalu besar.

“Ya mudah-mudahan dengan begitu harga bisa naik, walaupun sedikit. Lalu, kita juga bisa mengontrol kapasitas produksi dari nikel-nikel kelas 2, begitu,” tuturnya.

Dia pun menilai, meski pemerintah merencanakan pembatasan, masalah oversupply nikel di pasar global kemungkinan masih akan terjadi pada 2025, meski tidak separah kondisi pada 2023. Terlebih, banyak pabrik pengolahan atau smelter nikel di Eropa yang tutup.

Ke depan, Meidy berharap pemerintah lebih jeli dalam memetakan prospek suplai dan permintaan komoditas global, serta tidak hanya memikirkan kepentingan produsen dan penambang di dalam negeri.

“Karena dampak atas kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia akan sangat signifikan. Mau enggak mau, kalau kita salah produksi, kita overproduksi, atau kita kurang produksi; itu berdampak pada dunia loh,” tegasnya.

Upaya Pemangkasan

Di tengah perkembangan harga yang tertekan pada 2024, Indonesia dilaporkan berupaya menurunkan jumlah bijih nikel yang diizinkan untuk ditambang pada 2025 menjadi 150 juta ton, menurut orang-orang yang mengetahui masalah tersebut kepada Bloomberg.

Nikel — yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze yang terkenal — mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini

Hal itu sebagian disebabkan oleh gelombang pasokan baru yang sebelumnya diharapkan dari Indonesia dan perlambatan penjualan kendaraan listrik.

Sampel bijih nikel./Bloomberg-Carla Gottgens

Tiga sentimen

Di sisi lain, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan tiga tantangan yang akan memengaruhi harga nikel pada 2025.

Imaduddin Abdullah, Direktur Kolaborasi Internasional Indef, mengatakan prospek harga nikel dalam jangka pendek kemungkinan bakal tertekan karena tiga faktor utama.

Pertama, masalah struktural berupa ketidaksimbangan pasar lantaran terjadi oversupply nikel kelas 1 (battery grade) di tingkat global.

“Produksi Indonesia-China, padahal, terus meningkat dan diproyeksikan mencapai 75% pangsa pasar dunia dalam 5 tahun ke depan,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, baru-baru ini.

Kedua, pelemahan permintaan nikel dari sektor industri baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

Imaduddin menyebut porsi nikel dalam industri baterai EV kemungkinan hanya mencapai 15% dari total permintaan dunia. Hal ini salah satunya dipicu pergeseran teknologi ke baterai lithium ferro phosphate (LFP), terutama di China.

“Di sisi lain, permintaan nikel untuk industri baja nirkarat atau stainless steel dari China—selaku importir terbesar nikel RI — diproyeksikan melambat, dan hanya mencakup ⅔ dari total permintaan nikel menjelang 2025,” terangnya.

Ketiga, indikator harga nikel terkini menunjukkan adanya tren pelemahan dengan harga di LME untuk kontrak tiga bulan hanya mencapai US$16.316/ton pada Oktober 2024, terendah sejak September tahun lalu.  

Meski beberapa produsen nikel mulai memangkas produksi dan menunda proyek baru karena tekanan harga, dampak dari tindakan ini kemungkinan belum cukup mengimbangi tekanan dari oversupply dan pelemahan permintaan.

“Hal ini membuat harga nikel diperkirakan bergerak stagnan atau datar [pada 2025], dengan kecenderungan melemah dalam beberapa waktu ke depan,” kata Imaduddin.

Harga 2025

Meski terjadi tren penurunan harga, holding industri pertambangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),  PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) memproyeksikan harga nikel pada 2025 bisa mencapai lebih dari US$16.000/ton, meski belum akan rebound ke level tertinggi historisnya di atas US$20.000/ton.

Bola-bola nikel./Bloomberg-Cole Burston

Proyeksi penguatan harga nikel pada tahun depan didasari oleh tren penutupan tambang komoditas mineral logam tersebut di sejumlah negara produsen yang berbiaya produksi tinggi, seperti Australia.

Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo mengatakan harga nikel di Indonesia telah diantisipasi sejak awal 2024, sehingga rerata biaya produksi di smelter-smelter nikel dalam negeri maksimum hanya US$11.000/ton.

Dilo menyebut rerata harga nikel di LME berada di kisaran US$16.000/ton tahun ini. Adapun; harga nickel matte, nickel pig iron (NPI), dan feronikel (FeNi) yang diproduksi Indonesia hanya US$13.500/ton.

Dengan demikian, menurutnya, Indonesia masih akan mendapatkan keuntungan karena biaya produksinya hanya sekitar US$11.000/ton.

Rata-rata biaya produksi baterai nikel. (Dok: Bloomberg)

“Masalahnya Australia enggak bisa. Mereka biaya produksinya sudah US$14.000-an, mati [tambang nikelnya]. Nah, begitu Australia nikelnya mati, suplai globalnya kurang. Kalau suplainya kurang kan cenderung mengerek harga ke atas. Ini Filipina juga udah pada mati semua [tambang nikelnya] . Di Eropa juga sudah pada mati semua karena cash cost-nya mereka tinggi,” kata Dilo usai kegiatan MIND ID Commodities Outlook, bulan lalu.

Di sisi lain, Dilo menyebut permintaan nikel dunia ke depannya akan meningkat untuk kebutuhan kendaraan listrik dan baja nirkarat, sehingga posisi Indonesia sebagai produsen terbesar pun diuntungkan.

Sementara itu, ketersediaan nikel di dunia berkurang imbas negara lain menutup tambangnya. 

Makanya itu tadi analisis saya, kalau dari sisi nikel mungkin akan ada growth [pertumbuhan] pada tahun depan harganya,” jelas Dilo.

(mfd/wdh)

No more pages