Akan tetapi, bukan tidak mungkin tekanan akan kembali terjadi. Sebab, bagaimanapun dolar AS masih di jalur penguatan.
Pada pukul 09:12 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia( menguat 0,01% ke 107,983. Indeks ini sudah naik 2,09% dalam sebulan terakhir.
Dolar AS menguat setelah Donald Trump memenangi Pilpres AS November lalu. Kemenangan Trump membuat pasar berekspektasi kebijakan serupa pada 2017-2021 akan kembali diterapkan.
Kebijakan fiskal AS pada era Trump diperkirakan bakal ekspansif, misalnya dengan pemotongan tarif pajak. Saat fiskal ekspansif, maka defisit anggaran akan membengkak sehingga pemerintah AS akan makin gencar masuk ke pasar dengan penerbitan obligasi.
Saat pasokan obligasi melimpah, maka harga akan turun dan imbal hasil (yield) akan naik. Kenaikan yield akan membuat aset-aset berbasis dolar AS menjadi menarik, dan ini menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Trump juga diperkirakan bakal menerapkan kebijakan luar negeri yang agresif, dengan berbagai tarif bea masuk. Akibatnya, harga barang dan jasa di Negeri Adidaya akan naik (karena bea masuk lebih mahal) sehingga menciptakan tekanan inflasi.
Ketika laju inflasi terakselerasi, maka ruang penurunan suku bunga acuan menjadi mengecil. Hasilnya, suku bunga di AS masih tetap tinggi, masih menarik, sehingga menjadi primadona para investor.
Perkembangan ini membuat dolar AS menjadi perkasa, sulit tertandingi. Rupiah pun dalam posisi yang masih rawan, masih rentan, risiko pelemahan masih mmebayangi.
(aji)