“Maka sudah merupakan langkah tepat bila pemerintah menghentikan investasi smelter nikel yang berbasis RKEF ini. Pengeluaran izin yang tidak terkendali mengkhawatirkan ketersediaan bahan baku dalam jangka panjang,” ujar Rizal saat dihubungi, Senin (8/5/2023).
Lebih lanjut, dia menjelaskan terdapat dua instansi yang menerbitkan izin smelter jenis tersebut, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi (OP)/operasi produksi khusus (OPK) dan Kementerian Perindustrian berupa izin usaha industri (IUI).
“Ketersediaan cadangan nikel saprolite diperkirakan hanya akan bertahan selama 12—15 tahun saja, sehingga harus ada langkah dan strategi untuk penemuan atau penambahan neraca cadangan nikel saprolite guna memperpanjang umur smelter tersebut,” ujarnya.
Dalam laporan riset pasarnya, para ekonom CITI juga menilai langkah pemerintah untuk memangkas keringanan pajak sebagai manuver tepat demi mencegah investasi berkualitas rendah di industri pengolahan nikel.
Indonesia, dalam hal ini telah memangkas insentif tax holiday untuk membatasi penanaman modal pada produk nikel berkualitas rendah atau nickel pig iron (NPI) dan ferro nickel karena bertujuan untuk lebih fokus pada nilai investasi hilir lebih lanjut.
“Hal ini positif, menurut kami, terutama bagi pemain lama yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah untuk terus berinvestasi dengan keringanan pajak yang ada, sementara pemain baru tidak dapat lagi berinvestasi di segmen ini, sehingga mengakibatkan kelebihan pasok ferronikel atau besi tempa nikel,” papar ekonom CITI dalam risetnya, Senin (8/5/2023).
Mereka menilai perusahaan seperti Merdeka Copper Gold dan Harum Energy yang telah beroperasi dan mendapatkan persetujuan untuk investasi baru mereka dalam proyek feronikel tidak akan merasakan dampak signifikan dari kebijakan disinsentif tersebut.
“Kami memandang perkembangan ini sebagai hal yang positif bagi para pemain yang sudah ada atau eksisting,” papar mereka.
Pemerintah belum lama ini dikabarkan telah memangkas insentif pajak untuk memoratorium investasi nikel kualitas rendah. Tujuannya adalah untukk memacu nilai tambah dari cadangan nikel di dalam negeri dengan mendorong investasi ke penghiliran yang ditarget senilai US$95 miliar tahun ini.
Kebijakan pemerintah tersebut sempat diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Dia mengatakan fokus insentif fiskal untuk investasi smelter akan diarahkan kepada sektor-sektor dengan nilai keekonomian lebih rendah seperti tembaga.
“Semua on the track. Kalau enggak jalan, bagaimana mau larang ekspor? [Berkaca pada nikel], ekspor [produk hilir] nikel bisa tembus US$27 miliar—US$28 miliar karena investasi smelter-nya jalan. Kalau enggak jalan, bagaimana mau ekspor produk hilir?” ujarnya, medio Februari.
Bahlil pun mengatakan pemerintah akan memberikan insentif fiskal berupa kemudahan impor barang modal, tax holiday, dan tax allowance bagi investor smelter yang mendukung proyek besar penghiliran industri mineral di Tanah Air.
Syaratnya, kata Bahlil, sektor bisnis penghiliran yang dijalankan memiliki tenggat titik balik modal atau break even point (BEP) maksimal 5 tahun atau tingkat pengembalian modal sendiri internal rate of return (IRR) yang masih rendah. Dengan kata lain, sektor penghiliran nikel yang dinilai sudah memiliki IRR tinggi tidak lagi memenuhi syarat untuk insentif tersebut.
“IRR-nya tidak boleh yang sudah tinggi. Kita beri insentif karena insentif fiskal itu instrumen untuk menarik investor di sektor-sektor yang nilai ekonominya belum tinggi,” tegas Bahlil.
Menyitir data BKPM, realisasi investasi industri hilir pada 2022 menembus Rp171,2 trililun atau mencakup 14% dari total realisasi penanaman modal tahun lalu senilai Rp1.207 trililun.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan rencana memoratorium pembangunan smelter nikel di Tanah Air, guna mengantisipasi terkikisnya suplai bijih nikel mentah di dalam negeri.
Menurut catatan kementerian, cadangan saprolite di Indonesia mencapai 2,7 miliar ton dengan konsumsi anual sekitar 450 juta ton. Melihat hal itu, pemerintah berupaya menjaga agar pasok nikel mentah tidak habis di tengah kebutuhan yang tinggi.
Hingga kini, pemerintah belum menjabarkan skema dari rencana moratorium smelter nikel. Namun, menurut Kementerian ESDM ada kemungkinan, investasi fasilitas pemurnian bijih tidak akan lagi menerima insentif fiskal seperti libur pajak atau pembebasan bea keluar.
(wdh)