Sementara indeks saham utama Asia lainnya justru kompak menapaki jalur hijau. Pada pukul 15.00 WIB, Nikkei 225 (Tokyo), Topix (Jepang), KLCI (Malaysia), SETI (Thailand), SENSEX (India), Straits Times (Singapura), Shenzhen Comp. (China), Ho Chi Minh Stock Index (Vietnam), TW Weighted Index (Taiwan), Shanghai Composite (China), dan Hang Seng (Hong Kong), yang dengan kenaikan masing-masing mencapai 1,81%, 1,26%, 0,93%, 0,74%, 0,41%, 0,20%, 0,20%, 0,18%, 0,12%, 0,06%, dan 0,03%.
Sementara itu, hanya dua indeks yang menemani IHSG di zona merah, yaitu KOSPI (Korea Selatan), dan juga PSEI (Filipina), yang terpangkas masing-masing 1,02%, dan 0,16%.
Melemahnya IHSG tersengat sentimen yang datang dari nilai tukar rupiah, yang diperdagangkan makin lemah pada Jumat siang setelah penurunan hingga 0,37% terhadap dolar Amerika Serikat, di level Rp16.255/US$.
Level tersebut merupakan titik support yang mengonfirmasi potensi pelemahan lanjutan ke level Rp16.300/US$, secara teknikal.
Adapun Ekonom mendesak Pemerintah untuk bergerak memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melalui kebijakan fiskal yang bijaksana.
Kebijakan fiskal terdekat yang bisa dijalankan adalah membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) meminta Pemerintah untuk membatalkan berbagai kebijakan kenaikan iuran yang membebani konsumsi rumah tangga. Kebijakan yang dimaksud seperti kenaikan iuran BPJS Kesehatan, pungutan opsen kendaraan bermotor, hingga Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurut Bhina, pelemahan rupiah bukan hanya terkait soal sentimen eksternal suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve dan sentimen global lain. Melainkan, tersengat oleh semua kebijakan kenaikan tarif pajak dan berbagai pungutan yang membebani masyarakat.
“Ini disebabkan oleh khawatiran konsumsi rumah tangga 2025 akan mempengaruhi industri dan investasi yang akan masuk, confidence market (Keyakinan Pasar) jadi terganggu dengan kebijakan PPN 12%. Itu akarnya,” ujar Bhima kepada Bloomberg Technoz, Jumat (27/12/2024).
Maka itu, dia mendesak Pemerintah untuk memberi sinyal positif dari sisi kebijakan fiskal kepada pasar keuangan demi menjaga stabilitas rupiah.
Jika Pemerintah serius ingin memperkuat nilai tukar rupiah, dia menegaskan Pemerintah harus membatalkan kebijakan fiskal yang membebani rakyat dan menggerus kepercayaan pelaku pasar.
Kemudian, mengumumkannya secara luas, sehingga menjadi sinyal ke pasar keuangan bahwa Pemerintah bersungguh-sungguh dalam menjaga daya beli masyarakat.
Menurut Bhima, Pemerintah selama ini absen mengambil peran dari sisi fiskal dalam upaya memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kini telah hampir berada di level Rp16.300-an/US$. Padahal, Bank Indonesia (BI) telah menahan pelemahan rupiah melalui aspek moneter sampai titik akhir.
“Jadi sekarang sinyal ke pasar yang tidak dilakukan oleh sisi fiskal, fiskal Pemerintah absen,” kata Bhima.
(fad/ain)