"Ini disebabkan oleh khawatiran konsumsi rumah tangga 2025 akan mempengaruhi industri dan investasi yang akan masuk, confidence market (keyakinan pasar) jadi terganggu dengan kebijakan ppn 12%. Itu akarnya," ujar Bhima kepada Bloomberg Technoz, dikutip Jumat (27/12/2024).
Maka itu, dia mendesak pemerintah untuk memberi sinyal positif dari sisi kebijakan fiskal kepada pasar keuangan demi menjaga stabilitas rupiah.
Jika pemerintah serius ingin memperkuat nilai tukar rupiah, dia menegaskan pemerintah harus membatalkan kebijakan fiskal yang membebani rakyat dan menggerus kepercayaan pelaku pasar. Kemudian, mengumumkannya secara luas, sehingga menjadi sinyal ke pasar keuangan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam menjaga daya beli masyarakat.
Menurut Bhima, pemerintah selama ini absen mengambil peran dari sisi fiskal dalam upaya memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kini telah hampir berada di level Rp16.300-an/US$. Padahal, Bank Indonesia (BI) telah menahan pelemahan rupiah melalui aspek moneter sampai titik akhir.
"Jadi sekarang sinyal ke pasar yang tidak dilakukan oleh sisi fiskal, fiskal pemerintah absen," kata Bhima.
Sementara dari sisi moneter, lanjut dia, BI memiliki ruang yang terbatas untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate, karena ada kekhawatiran akan bertentangan dengan pelemahan sektor ekonomi riil domestik.
"Ruang BI menggerakkan suku bunga terbatas, operasi moneter juga terbatas, BI malah digeledah oleh KPK karena tuduhan korupsi dana CSR. Ini waktu yang buruk bagi ekonomi Indonesia kalau terus begini," ujar Bhima.
(lav)