Adapun awalnya kuasa hukum perkara Nomor 5, Viktor Santoso Tandiasa menyebut bahwa Perppu Ciptaker bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22A UUD 1945 serta Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Nomor 91/PUU-XVII/2020.
Menurutnya, subjektivitas Presiden untuk menerbitkan perppu harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Apabila diukur dari tiga tolok ukur, keberadaan perppu ini tidak memenuhi syarat karena selama ini pemerintah menggunakan UU 11/2020 (UU Cipta Kerja) untuk melaksanakan kebutuhan mendesak dalam penyelesaian masalah hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya, dan selama ini tidak terjadi kekosongan hukum.
Selain itu, ia juga menilai bahwa UU Nomor 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK juga bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Menurutnya, tata cara pembentukan UU tersebut tidak didasarkan pada metode yang pasti dan bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hingga UU tersebut dinilai sudah cacat formil.
“Namun ternyata pemerintah menerbitkan Perppu 2/2022 dengan tidak memenuhi amanat serta amar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan tidak memenuhi Putusan Nomor 139/PUU-VII/2009. Bahwa tindakan ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan proses pembentukannya bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 karena tidak pula memenuhi syarat kegentingan memaksa yang seharusnya didasarkan pada keadaan yang objektif,” terang Viktor dalam sidang tersebut.
Selain itu, sidang permohonan perkara Nomor 6 mengujikan 55 Pasal. Menurut kuasa hukum pemohon, Saut Pangaribuan, 55 pasal dalam Perppu 2/2022 bertentangan dengan UUD 1945. Ia menilai bahwa norma yang terdapat pada Perppu tersebut menghilangkan hak konstitusional para buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945 dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Oleh karena itu, pada norma ini terdapat ketidakjelasan rumusan sehingga justru menimbulkan ketidakpastian hukum,” katanya.
Kesimpulan MK
Dalam uji formil dan materil terhadap kedua perkara tersebut, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan beberapa catatan antara lain Perkara Nomor 5 belum menguraikan syarat dan hubungan langsung antara norma yang diujikan dengan keberadaan hak konstitusional oleh pemohon.
Selain itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan para pemohon untuk mencermati isi dari Peraturan MK Nomor 2/2021 yang mengatur tentang pengujian UU dan perppu yang memiliki batas waktu.
“Ini menjadi pintu masuk terkait eksistensi pengujian materil dari sebuah Perppu,” kata Daniel.
Untuk diketahui, panel hakim memberikan waktu selama 14 hari kepada para pemohon untuk menyempurnakan permohonan perkaranya yakni selambat-lambatnya pada 1 Februari 2023 pukul 13.00 WIB. Jika telah diperbaiki, akan dapat dijadwalkan kembali sidang berikutnya.
(ibn/ezr)