Mulai 2025, AS akan resmi dipimpin oleh Donald Trump. Trump, seorang pengusaha dari sayap Republikan, memenangkan Pemilu 5 November lalu dengan cukup telak. Ia membawa sejumlah rencana kebijakan dengan tema besar 'America First' yang berbau proteksionisme, melalui rencana tarif impor tinggi bagi negara-negara pesaingnya.
Baca juga: Kemenangan Trump akan Mengubah Perekonomian Dunia
Di sisi lain, pengetatan imigran serta belanja besar pemerintahannya, dinilai potensial mengerek lagi inflasi AS ke depan.
Chief Economist di Apollo Global Management Torsten Sløk, pada Senin lalu membeberkan publikasi yang membangunkan kewaspadaan para pelaku pasar.
Mengutip Barron's dan pemberitaan lain, Sløk membeberkan beberapa risiko yang kemungkinan dihadapi oleh para pelaku pasar pada tahun depan di mana potensi resesi AS bukanlah salah satunya yang perlu ditakutkan.
Menurut Sløk, probabilitas resesi di Negeri Paman Sam angkanya 0%. Meski begitu, negeri itu menyuguhkan berbagai dinamika yang bisa berdampak besar bagi pasar terutama karena keterpilihan Trump.
Defisit fiskal AS
Pembicaraan terkait krisis fiskal makin memanas sejak Trump terpilih pada Pemilu November. Partai Republik menjanjikan tidak akan mengenakan pajak pada tip atau jaminan sosial (social security), keringanan pajak anak yang lebih tinggi sebesar US$ 5.000 dan pajak lebih rendah bagi mereka yang berpenghasilan tinggi.
Rencana-rencana itu diperhitungkan dapat menambah nilai utang AS menembus US$7,75 triliun hingga tahun 2035 mendatang, menurut perkiraan Committee for a Responsible Federal Budget, lembaga pengawas fiskal non-partisan. Jumlah itu lebih dari empat kali lipat jumlah defisit saat ini.
Kekhawatiran akan kesehatan fiskal AS bisa mempengaruhi tingkat imbal hasil yang diminta investor Treasury, surat utang terbitan Pemerintah AS.
Sløk melihat ada peluang sekitar 40% bagi yield Treasury tenor 10Y untuk bergerak di atas 5% sebelum pertengahan 2025.
Itu menjadi berita buruk bagi perekonomian karena kenaikan yield Treasury akan melesatkan suku bunga KPR, kartu kredit hingga kredit konsumsi lain yang selama ini mengacu pada UST-10Y. Saat ini posisi yield UST-10Y ada di 4,589%.
Percepatan ekonomi AS
Perekonomian AS diperkirakan akan reakselerasi dengan probabilitas mencapai 85%. Pertumbuhan ekonomi di AS telah bertahan di kisaran 3% dan kemungkinan akan lebih cepat tahun depan.
Hal ini membuka risiko inflasi yang kembali meningkat. Inflasi akan tetap menjadi isu besar pada 2025.
Inflasi AS
Imbal hasil Treasury juga bisa semakin meroket bila para kreditur mulai memperhitungkan risiko kenaikan inflasi di negeri itu.
Dalam paparannya, Sløk memprediksi inflasi AS dapat meningkat pada kuartal pertama dengan probabilitas sebesar 40%.
Menurut analis pasar makro global The Kobeissi Letter, dalam akun X-nya, dalam hitungan tiga bulanan, inflasi inti Indeks Harga Konsumen (IHK) sudah di atas 3,5%, ketika angka IHK, inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE).
"Dalam pandangan kami, ini [inflasi] akan menjadi risiko terbesar tahun depan," demikian dikutip dari cuitan yang dikutip, Kamis (26/12/2024).
Bunga The Fed bisa naik
Inflasi yang lebih tinggi bisa mendorong bank sentral AS, Federal Reserve, untuk berbalik arah tahun depan. Setelah sepanjang tahun ini beberapa kali memangkas bunga acuan, tahun depan The Fed berpotensi mengerek lagi Fed fund rate.
Ekonom Apollo memprediksi ada potensi 40% suku bunga The Fed akan naik lagi.
Pada pengumuman hasil FOMC terakhir 18 Desember lalu, The Fed telah merilis dot plot terbaru yang mencerminkan pemangkasan bunga acuan hanya dua kali tahun depan, lebih kecil ketimbang dot plot sebelumnya sebanyak tiga kali.
Perubahan itu saja telah membuat pasar 'kebakaran', termasuk di Indonesia yang menyaksikan kejatuhan harga saham, obligasi juga nilai tukar rupiah menyentuh lagi Rp16.300-an/US$.
Baca juga: Trump Rebut Lagi Gedung Putih, Ekonomi RI dan ASEAN Bisa Kian Redup
Analisis Sløk, The Fed akan berhenti bicara tentang r-star, dengan probabilitas mencapai 70%. R-star adalah level suku bunga netral yang menyeimbangkan perekonomian dalam jangka panjang.
Secara efektif, itu adalah bunga riil yang tidak bersifat ekspansif maupun kontraktif.
Kenaikan tarif impor AS
Sløk mencatat ada probabilitas hingga 90% untuk penerapan kebijakan tarif impor AS oleh Pemerintah Trump. Dalam beberapa kali pernyataan, 'ancaman' Trump bahkan bukan hanya ke China tapi juga ke negara-negara tetangga Amerika seperti Kanada dan Meksiko. Bahkan sampai ke Uni Eropa.
Penerapan tarif impor ke negara-negara mitra dagang diperkirakan bisa berdampak antara -1,7% terhadap PDB. Namun, pemangkasan pajak diperkirakan menambah 2,4% terhadap PDB.
Resesi China dan Jerman
Paparan Sløk juga menyoroti adanya risiko resesi yang dihadapi oleh negara dengan PDB kedua serta keempat terbesar di dunia yakni China dan Jerman.
Probabilitas terjadinya resesi di China mencapai 40%, menurut Apollo.
China masih menghadapi deflasi dalam lima kuartal beruntun, terpanjang pertama kalinya sejak 1999.
Meski berulang kali para pemimpin di Tiongkok menyatakan akan menggeber stimulus besar-besaran untuk menolong perekonomian, para analis menilai resesi lebih mungkin melanda negeri tersebut.
Survei Bloomberg yang dirilis bulan ini mencatat, potensi resesi di Tiongkok hanya 10% dalam 12 bulan ke depan. Survei dilakukan terhadap 66 ekonom.
Ekonomi China ditaksir masih akan tumbuh 4,5% tahun depan melambat dari perkiraan capaian tahun ini sebesar 4,8%.
Bagaimana dengan Jerman? Mengacu hasil survei yang digelar oleh Bloomberg terhadap 48 ekonom, dilansir 23 Desember lalu, peluang resesi terjadi di Jerman dalam 12 bulan ke depan mencapai 58%.
Adapun tahun 2025, perekonomian diperkirakan hanya tumbuh 0,4% setelah terkontraksi 0,1% pada 2024.
Peluang pasar saham
Kinerja salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia, NVidia, diperkirakan akan mengecewakan tahun depan dengan probabilitas mencapai 90%, menurut Apollo.
Nvidia telah menyumbang 20% return S&P 500 sepanjang thaun ini.
S&P bisa kembali menguat tahun depan mengingat antusiasme yang berlanjut terhadap booming kecerdasan buatan (AI) dan taktik deregulasi Trump.
Hanya saja, pasar saat ini sudah berada di valuasi tertinggi sepanjang sejarah yang akan membuat perjalanan ke depan lebih liar dan tidak terduga.
(rui)