Kajian yang dilakukan oleh para ekonomi di Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat, ada dugaan 'pemaksaan' kebijakan PPN 12% ketika daya beli sudah lesu adalah karena posisi Pemerintah RI terdesak mengamankan keuangan negara yang terbebani utang.
Tahun 2025, pemerintah harus membayar utang jatuh tempo senilai Rp800,33 triliun dengan bunga utang mencapai Rp550 triliun. Alhasil, total senilai Rp1.300 triliun untuk kebutuhan pembayaran utang dan bunga utang. Angka itu setara dengan 59,3% penerimaan perpajakan pada 2025, mengutip kajian Celios.
Dalam 10 tahun terakhir, beban bunga utang Pemerintah RI sudah naik 254%. Sementara nilai anggaran untuk subsidi hanya naik 66% dan alokasi untuk perlindungan sosial juga hanya naik 57%. "Jadi, lebih banyak bayar bunga utang atau keperluan lain?," kata tim ekonom Celios di antaranya Bhima Yudhistira, Nailul Huda dan lain-lain.
Ekonom juga meragukan apakah pendapatan dari pajak itu digunakan untuk membangun. "Belanja pemerintah dari pajak untuk dukung percepatan infrastruktur juga diragukan. Belanja modal 10 tahun terakhir malah minus 12%. Padahal belanja modal untuk infrastruktur," kata tim Celios.
Itu karena pungutan iuran dan tarif yang makin banyak, pendapatan yang tersisa untuk dibelanjakan makin tergerus. Data memperlihatkan, disposable income alias pendapatan. yang bisa dibelanjakan terus menurun menunjukkan fenomena 'makan tabungan'.
"PPN 12% bisa memperburuk daya beli, terlebih dengan kenaikan Upah Minimum hanya 6,5% sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup," tulis kajian tersebut.
Para ekonom menyimpulkan, klaim penerimaan negara dari kenaikan PPN jadi 12% sebesar Rp75 triliun, belum tentu dapat membantu kehidupan masyarakat lebih sejahtera. Namun, penerimaan itu bisa masuk ke kantung para kreditur utang. "Apalagi imbal hasil surat utang RI tinggi. Pada 2025 bila investor beli surat utang, imbal hasilnya bisa 7,1%," jelas para ekonom Celios.
Kebijakan PPN 12% akan lebih terasa memberatkan bagi kalangan menengah ke bawah. Itu karena sifat PPN sebagai pajak regresif atau pukul rata tak peduli besar pendapatan tiap orang. Ini berkebalikan dengan pajak progresif di mana tarifnya makin tinggi untuk kelas pendapatan lebih besar.
Di sisi lain, berbagai paket insentif yang disodorkan oleh Pemerintah RI yang diklaim bisa mengimbangi tekanan akibat kenaikan pajak, menurut pandangan ekonom tidaklah berpihak pada kelas menengah ke bawah.
Misalnya, insentif mobil hybrid dengan mendapatkan PPnBM DTP (pajak barang mewah ditanggung pemerintah) sebesar 3%. "Bisa dibayangkan, kelas menengah lagi susah, disuruh beli mobil hybrid yang harganya fantastis bahkan ada yang mencapai Rp1,7 miliar per unit," kata ekonom Celios.
Mengacu publikasi data terakhir, per akhir November posisi utang Pemerintah RI mencapai Rp8.680,13 triliun, naik 1,39% dibanding bulan sebelumnya. Nilai itu mencerminkan rasio utang terhadap PDB hampir 40%, lebih tepatnya 39,20% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Profil jatuh tempo utang pemerintah per akhir bulan lalu mencatat average time maturity sebesar 8,01 tahun. Adapun posisi defisit APBN tercatat Rp401,8 triliun per November lalu, di bawah target defisit Rp522,8 triliun.
Defisit itu berasal dari belanja senilai Rp2.894,5 triliun, naik 15,3% year-on-year. Sedangkan pendapatan negara hanya naik 1,3% sebesar Rp2.492,7 triliun. Untuk defisit APBN bulan Desember, data akan diumumkan pada Januari nanti.
PHK makin banyak
Kondisi perekonomian domestik jelang tutup tahun ini makin banyak menunjukkan indikator kelesuan. Yang terbaru, Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer menyatakan, sampai bulan Desember ini, angka PHK sudah menembus 80.000 orang.
"[Posisi terakhir] ada sekitar 80 ribuan [orang terdampak PHK]. Kemarin saya diskusikan dengan kawan-kawan, ada sekitar 60 perusahaan yang akan [kembali] melakukan PHK. Ini mengerikan sekali," kata Immanuel.
Adapun mengacu publikasi bulanan Kementerian Tenaga Kerja yang dilansir 23 Desember lalu, total kejadian PHK sepanjang Januari-November 2024 telah mencapai 67.870 orang.
Angka itu naik 17,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan dibanding Oktober, penambahannya mencapai 3.923 pekerja.
Dengan demikian, total angka PHK selama 11 bulan tahun ini telah melampaui total kejadian PHK sepanjang tahun 2023 lalu yang tercatat sebanyak 64.855 pekerja.
PHK terbanyak sepanjang tahun ini terjadi di Provinsi DKI Jakarta, sebanyak 14.501 kasus pemutusan hubungan kerja. Disusul Provinsi Jawa Tengah dan Banten, masing-masing sebesar 13.012 kasus dan 10.727 kasus. Sedangkan di Jawa Barat, terjadi 9.510 kasus PHK.
Badai PHK sepanjang tahun 2024 yang memburuk dibanding tahun lalu, boleh jadi akan berlanjut kian besar tahun depan menyusul berbagai kebijakan pungutan dan kenaikan tarif yang potensial mengerosi kinerja penjualan ritel akibat pelemahan daya beli masyarakat.
Kinerja penjualan industri yang kian mengempis, dapat kian membebani pelaku usaha. Pengurangan tenaga kerja telah menjadi opsi para pemilik usaha dalam beberapa bulan terakhir seiring dengan manufaktur yang terkontraksi selama lima bulan beruntun.
Bukan cuma itu, situasi tahun depan juga dibayangi potensi pecahnya Perang Dagang 2.0 seiring kembalinya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat dengan sejumlah kebijakan proteksionisme, mengancam perdagangan dunia makin terfragmentasi.
Belanja masyarakat sejauh ini terpantau masih lesu. Mandiri Spending Index (MSI) pada awal Desember, belanja masyarakat ada di level 225, relatif stagnan dengan awal November di 223,4 dan awal Oktober di 226.
Akan tetapi, bila menghitung selama kuartal IV-2024 yaitu Oktober-Desember berjalan, rata-rata pertumbuhan mingguan MSI hanya sebesar 0,1%, lebih rendah dibanding kuartal IV-2023 yang rata-ratanya 0,7%.
"Dari pola tahun-tahun sebelumnya, belanja di periode Nataru baru akan meningkat pada pekan kedua Desember hingga Januari," jelas ekonom Bank Mandiri, dalam publikasi yang dilansir 13 Desember lalu.
Di beberapa kawasan penyumbang Produk Domestik Bruto terbesar, laju belanja juga lesu bahkan terkontraksi pada kuartal akhir tahun ini.
Rata-rata pertumbuhan mingguan MSI terendah pada kuartal IV-2024 hingga data awal Desember terjadi di kawasan Bali dan Nusa Tenggara, dengan kontraksi [pertumbuhan negatif] 1,7% dibandingkan kontraksi 0,4% pada periode yang sama tahun sebelumnya," demikian dikutip dari laporan Kantor Ekonom Bank Mandiri.
Menurut ekonom, kontraksi pertumbuhan belanja di Bali dan Nusa Tenggara itu terkait dengan pola musiman kunjungan wisatawan asing yang turun selama awal kuartal IV hingga awal Desember.
Sedangkan di Pulau Jawa, juga terjadi kontraksi pertumbuhan mingguan sebesar 0,5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang masih tumbuh positif 1,6%. "Itu mengindikasikan melambatnya tingkat belanja di Jawa," kata riset tersebut.
Kajian Bank Mandiri juga menemukan, masyarakat melakukan adaptasi konsumsi. "Menghadapi tantangan daya beli, salah satu hal yang dilakukan oleh masyarakat adalah mengurangi intensitas belanja di luar rumah. Kami mengamati fenomena less dining out dan more eating in telah terjadi sejak pertengahan tahun lalu," kata ekonom dalam publikasi 13 Desember tersebut.
Fenomena itu terlihat dari proporsi belanja restoran, sebagai proxy dining out, terus melambat dari posisi tertinggi pada Juni 2023 sebesar 21,2%. Pada November, angkanya 17,8%.
Pada saat yang sama, belanja kebutuhan makan dan minuman sebagai cerminan eating in terus meningkat dari akhir 2022 yaitu 10,1% menjadi 21,1% pada bulan lalu.
"Tren ini lebih terlihat di kelompok bawah dan menengah dibanding kelompok atas. Ke depan, kebijakan menjaga daya beli kelompok bawah dan menengah sangat krusial untuk menopang aktivitas konsumsi masyarakat tetap terjaga," kata tim ekonom Bank Mandiri.
(rui)