Di Uni Eropa (UE), misalnya, Meidy mengatakan mulai 18 Februari 2025, blok mata uang tunggal itu akan mengimplementasikan EU Battery Regulation. Undang-undang (UU) Baterai tersebut akan mewajibkan persyaratan jejak karbon untuk baterai kendaraan listrik.
Peraturan tersebut mulai diadopsi sejak 12 Juli 2023 dan berlaku pada 8 Agustus 2023. Lalu, pada 2027, UE akan mewajibkan setiap baterai EV yang masuk ke Benua Biru untuk memiliki ‘paspor baterai’ untuk memastikan ketertelusuran sumber bahan baku yang digunakan serta kepatuhannya terhadap parameter ESG.
“Nah dari 2025 ke 2027 itu cuma dua tahun loh. Pada 2027, UE sudah mewajibkan setiap baterai yang masuk, mau bahan baku atau apapun, untuk memiliki paspor baterai yang mensyaratkan ESG,” tuturnya.
Perusahaan Tutup
Meidy menggarisbawahi industri nikel Indonesia rawan tertekan oleh berbagai dinamika tersebut; mulai tren harga nikel yang terus melandai akibat oversupply dari Indonesia hingga ongkos produksi yang makin mahal akibat persyaratan ESG yang kian ketat di pasar global.
Walhasil, Meidy memperingatkan, kemungkinan akan ada banyak produsen nikel yang gulung tikar ke depannya akibat beban-beban tersebut. “Karena, kembali lagi, harganya berkurang, tetapi cost bertambah; cost ESGnya.”
“Bisa jadi [banyak produsen nikel RI yang tutup]. Kalau enggak ada untung, ngapain produksi terus? Apalagi tambah pajak lagi. Ya mendingan saya tutup. Kalau pabrik yang enggak bisa bertahan, ya mau enggak mau [harus tutup]. Mungkin pabrik-pabrik besar kali yang bisa bertahan ya,” ujarnya.
Diversifikasi Ekspor
Lebih lanjut, Meidy mengatakan selama ini produk turunan nikel untuk bahan baku baja nirkarat tidak hanya diekspor ke China. Indonesia juga sudah mulai masuk ke pangsa pasar Eropa untuk memasok bahan baku stainless steel.
“Sudah ada beberapa negara yang mengambil nickel matte atau nickel pig iron dari Indonesia. Memang masih dikuasai China, tetapi negara-negara lain juga sudah masuk, tetapi untuk bahan baku stainless steel ya, bukan baterai. Ke Belanda kita sudah masuk.”
Untuk diketahui, Indonesia kini tengah mempertimbangkan pemangkasan kuota penambangan nikel dalam jumlah besar karena berupaya mendongkrak harga yang tengah merosot, lapor Bloomberg.
Negara yang merupakan salah satu produsen utama nikel dunia ini tengah berupaya menurunkan jumlah bijih nikel yang diizinkan untuk ditambang pada 2025 menjadi 150 juta ton, menurut orang-orang yang mengetahui masalah tersebut yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena pembahasannya bersifat tertutup.
Target tersebut akan menjadi penurunan tajam dari 272 juta ton tahun ini.
Harga Nikel — yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze yang terkenal — mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini.
Hal itu sebagian disebabkan oleh gelombang pasokan baru yang sebelumnya diharapkan dari Indonesia dan perlambatan penjualan kendaraan listrik.
Nikel menjadi salah satu logam yang berkinerja terburuk di antara logam industri di London Metal Exchange (LME) tahun ini. Pada penutupan perdagangan Senin, nikel diperjualbelikan di harga US$15.292/ton, merosot 0,42% dari penutupan Jumat.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)