Kedua, keberadaan ketentuan kenaikan tarif PPN tidak memadai karena tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum.
Ketiga, kondisi saat ini tidak mungkin diatasi dengan cara membuat atau merevisi undang-undang melalui prosedur biasa, mengingat menghabiskan waktu yang cukup lama, sementara keadaan telah mendesak.
Keadaan mendesak sebab per 1 Januari 2025 perintah norma yang problematik dari Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 harus dilaksanakan. Sementara, DPR RI sedang berada pada masa reses dari 6 Desember 2024 sampai 15 Januari 2025 sehingga tidak mungkin persoalan tersebut dibicarakan bersama dalam waktu dekat.
Menurut Zakiul, keberadaan Perppu dalam politik regulasi Indonesia selama 10 tahun terakhir bukan hal langka. Semasa pemerintahan Presiden sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi), setidaknya ada delapan jenis Perppu dengan berbagai alasan mendesak yang berbeda telah diterbitkan.
Di antara Perppu yang dimaksud yakni: 1) Perppu No. 1 Tahun 2015 tentang TIPIKOR, 2) Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, 3) Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Kepentingan Pajak, 4) Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas, 5) Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara di Kala Pandemi, 6) Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Pilkada, 7) Perppu No. 1 Tahun 2022 tentang Pemilu, dan 8) Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Pemerintahan mantan Presiden Jokowi, lanjut dia, bahkan pernah menerbitkan Perppu tentang Kepentingan Pajak yang lahir terkait pengampunan pajak atau tax amnesty. Sayangnya ini lebih banyak dinikmati oleh orang kaya dan pengemplang pajak.
"Kalau Jokowi menerbitkan Perppu untuk orang kaya dan pengemplang pajak maka ini saatnya Prabowo menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan PPN 12% di UU HPP, dan saatnya berpihak pada masyarakat menengah bawah yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi," tegas dia.
(lav)