Bank Indonesia secara gamblang berulang menyatakan telah masuk ke pasar dengan intervensi yang 'berani' untuk tidak menyebut 'besar'. Namun, berapa persis nilai intervensi yang digelontorkan BI, belum ada angka yang spesifik.
Yang pasti, berkaca pada pekan lalu ketika rupiah sempat ambles ke level Rp16.313/US$ dalam perdagangan intraday, nilai mata uang akhirnya berhasil dikerek naik sejalan dengan rebound pasar saham pada Jumat lalu. Rupiah mencatat level terkuat dalam periode tekanan pasca hasil FOMC The Fed Kamis lalu, adalah di posisi Rp16.125/US$ yaitu pada Senin pagi kemarin.
Ratusan triliun hadang dolar AS
Hampir semua bank sentral di seluruh dunia mengalami pekan yang sangat sibuk jelang libur akhir tahun ini.
Penguatan indeks dolar AS hingga menyentuh level tertinggi dalam 25 bulan terakhir, telah menjatuhkan mata uang yang menjadi lawannya di seluruh dunia.
Kejatuhan mata uang di hadapan dolar AS, memaksa bank sentral di banyak negara bersiaga penuh menahan kemerosotan agar tidak makin serius melukai perekonomian secara keseluruhan.
Bila BI menggeber intervensi di pasar disertai pernyataan berulang tentang kesiapsiagaan menjaga rupiah, beberapa bank sentral lain terindikasi lebih 'berdarah-darah' lagi menjaga mata uangnya dari terjangan dolar AS.
Di Brasil, bank sentral negeri Samba itu telah menghabiskan sekitar US$17 miliar dalam sepekan terakhir untuk mengintervensi pasar demi menahan kejatuhan mata uang real yang sudah ambles 20% tahun ini. Nilai itu setara dengan Rp275,31 triliun.
Di Hungaria, jurus berbeda ditempuh oleh bank sentral negeri itu. Otoritas moneter Hungaria mengerek suku bunga penawaran swap mata uang asing (fx-swap) demi menahan pelemahan forint.
Bank sentral Korea, misalnya, berencana melonggarkan batas atas posisi forward bank di negeri itu hingga 50%, demi meningkatkan arus masuk modal asing dan mengatasi ketidakimbangan supply-demand di pasar mata uang lokal.
(rui)