Smelter milik Freeport dengan nilai investasi Rp56 triliun tersebut dirancang untuk mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga guna menghasilkan 600.000—700.000 ton katoda tembaga per tahun.
Fasilitas tersebut juga dirancang sebagai smelter katoda tembaga single line dengan kapasitas terbesar di dunia.
Sesuaikan Rencana
Bagaimanapun, Haykal menggarisbawahi potensi kerugian yang bisa saja dialami Freeport masih belum bisa terukur, lantaran smelter katoda di Gresik tersebut hingga kini belum dapat beroperasi dan berproduksi secara penuh usai terbakar pada 14 Oktober 2024.
Haykal menilai, ke depannya jika tren penurunan fee smelter tembaga global terus berlanjut, Freeport mungkin harus menyesuaikan perencanaan dan proyeksi keuangan mereka atau merevisi penyusunan rencana produksi jangka pendek mereka.
“Mereka [Freeport] mungkin harus lebih fleksibel dalam mengatur keuangan. Mungkin dengan melakukan simplifikasi terhadap manajemen mereka dan penyederhanaan di produksi mereka, atau hal-hal lain yang bisa paling tidak menghemat pengeluaran mereka untuk tahun depan. Kira-kira begitu,” terangnya.
Bloomberg Technoz telah berusaha menghubungi perwakilan Freeport Indonesia terkait dengan dampak fenomena krisis bisnis smelter tembaga global, tetapi belum mendapatkan respons hingga berita ini diturunkan.
Gulung Tikar
Untuk diketahui, pelaku industri smelter tembaga di China dan banyak negara lainnya memperingatkan adanya ancaman penyetopan operasi, atau bahkan gulung tikar, jika biaya atau fee untuk pemrosesan logam industri tersebut terus turun terlalu tajam.
Gelombang investasi smelter baru di China dan tempat lain telah membuat pabrik-pabrik pengolahan tembaga di dunia bersaing ketat dalam menemukan bijih yang cukup untuk mengisi tungku mereka. Hal itu berarti penambang dapat memperoleh persyaratan pasokan konsentrat yang makin menarik.
Dalam sebuah percakapan pribadi, eksekutif senior industri pertambangan dan smelter yang menghadiri London Metal Exchange (LME) Week tahunan pada Oktober mengatakan kemungkinan biaya pemrosesan utama akan turun ke tingkat di mana pabrik peleburan akan kesulitan untuk menghasilkan laba.
Perusahaan smelter biasanya memperoleh sebagian besar keuntungan mereka dari biaya pemrosesan yang dipotong dari biaya konsentrat, bijih yang sebagian diproses yang mereka beli dari para penambang.
Industri menyetujui patokan untuk biaya perawatan dan pemurnian (TC/RC) pada kuartal keempat setiap tahun. Biaya tersebut digunakan sebagai referensi untuk kontrak pasokan jangka panjang, sementara penjualan ad hoc lainnya sepanjang tahun diberi harga berdasarkan kondisi pada saat itu.
Peningkatan tekanan pada pasokan bijih tembaga telah menyebabkan kesenjangan yang lebar antara patokan tahun lalu — yang ditetapkan sebesar US$80 per ton bijih dan 8 sen per pon logam yang terkandung — dan ketentuan yang disetujui dalam transaksi spot.
Situasinya telah berkembang sedemikian parah, sehingga biayanya berubah menjadi negatif; pedagang dan peleburan telah membayar lebih banyak untuk bijih tembaga daripada tembaga yang terkandung di dalamnya yang akan diperoleh setelah diproses, situasi yang sangat tidak biasa.
Dalam jajak pendapat yang melibatkan lebih dari dua lusin penambang, pedagang, dan peleburan; responden yang memberikan perkiraan mengatakan bahwa patokan tersebut kemungkinan akan disepakati antara US$20 dan US$40 per ton dan 2 sen hingga 4 sen per pon.
Tahun ini, patokan tersebut diharapkan akan dinegosiasikan dengan perusahaan tambang Chili Antofagasta Plc, yang sebelumnya cenderung melakukan negosiasi yang lebih alot daripada pesaingnya dari Amerika, Freeport-McMoRan Inc.
Freeport telah sering menetapkan patokan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi akan memiliki lebih sedikit konsentrat untuk dijual tahun depan setelah membangun smelter katoda tembaga baru di Indonesia.
Dilaporkan Bloomberg sebelumnya, CEO Freeport-McMoRan Kathleen Quirk mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa perusahaan tidak akan menetapkan patokan tahun ini. Di sisi lain, juru bicara Antofagasta menolak berkomentar mengenai negosiasi fee smelter tersebut.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)