Permasalahannya, Meidy menggarisbawahi kondisi pelaku industri nikel di Tanah Air saat ini sebenarnya sudah ‘berdarah-darah’. Mereka ditekan oleh tren harga nikel yang terus menurun selama dua tahun terakhir.
“Kalau harga [biaya produksi] nambah untuk memenuhi syarat ESG, apakah ada buyer-nya untuk nikel premium yang katanya sudah berbasis ESG? Kan belum ada. Harga masih sama, tetapi kita ada penambahan cost. Terus demand-nya juga berkurang, tetapi kita diwajibkan untuk memenuhi syarat ESG,” tuturnya.
“Demand ke depan makin berkurang ini, sedangkan harganya segitu-gitu saja, malah menurun ini harga nikel. Maksudnya, secara hukum ekonomi, harga menurun tetapi produsennya disuruh tambah biaya untuk ESG. Nah gimana? Belum lagi ada PPN 12%. Tambah gila lagi kita ini.”
Sekadar catatan, Uni Eropa (UE) akan mengimplementasikan EU Battery Regulation per 18 Februari 2025. Undang-undang (UU) Baterai tersebut akan mewajibkan persyaratan jejak karbon untuk baterai kendaraan listrik.
Peraturan tersebut mulai diadopsi sejak 12 Juli 2023 dan berlaku pada 8 Agustus 2023. Lalu, pada 2027, UE akan mewajibkan setiap baterai EV yang masuk ke Benua Biru untuk memiliki ‘paspor baterai’ untuk memastikan ketertelusuran sumber bahan baku yang digunakan serta kepatuhannya terhadap parameter ESG.
“Nah dari 2025 ke 2027 itu cuma dua tahun loh. Pada 2027, UE sudah mewajibkan setiap baterai yang masuk, mau bahan baku atau apapun, untuk memiliki paspor baterai yang mensyaratkan ESG,” tuturnya.
Pembangkit Nikel
Baru-baru ini, pemerintah berwacana mengupayakan agar smelter nikel berbasis pirometalurgi atau rotary kiln-electric furnace (RKEF) dapat diintegrasikan dengan penyedia energi bersih, sebagai bagian dari misi membatasi industri hilir nikel dari penggunaan pembangkit listrik bertenaga batu bara.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memberi sinyal, ke depannya, smelter nikel RKEF akan diarahkan untuk menggunakan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
“Jadi untuk hilirisasi [industri nikel], kita akan integrasikan dengan penyedia energi. Jadi untuk integrasi penyedia energinya dari energi baru terbarukan, kira-kira potensinya ada di mana,” ujarnya ditemui di kantor Kementerian ESDM, medio bulan ini.
Sejalan dengan hal itu, Yuliot menyebut kementerian akan terus memantau proses produksi smelter RKEF dalam menghasilkan nickel pig iron (NPI) untuk memastikan industri tersebut beroperasi secara ramah lingkungan.
“Kita lihat bagaimana untuk proses hilirisasi dan pemanfaatannya. Jadi ya, mudah-mudahan dalam waktu dekat kita juga bisa integrasi hilirisasi energi berkelanjutan. Itu akan segera diselesaikan di Ditjen Minerba,” tuturnya.
Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN) tengah mengkaji upaya dekarbonisasi pada penghiliran atau hilirisasi nikel.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN Vivi Yulaswati mengatakan salah satu opsi yang tengah dikaji adalah pengetatan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara untuk smelter nikel.
“Kami bersama World Resources Institute sedang melakukan kajian dekarbonisasi hilirisasi nikel. Tentunya akan ada banyak upaya mengurangi emisi yang bisa dilakukan dari hulu ke hilir. Studi akan selesai sekitar April tahun depan,” ujar Vivi kepada Bloomberg Technoz.
Selain itu, Vivi mengatakan terdapat beberapa opsi yang tengah dikaji untuk energi alternatif yang bakal digunakan sebagai pengganti batu bara untuk smelter nikel tersebut. “Salah satunya pemanfaatan teknologi yang lebih circular dalam mengolah nikel,” ujar dia.
Pada kesempatan terpisah, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mendorong agar pabrik pemurnian atau smelter bijih nikel berbasis RKEF yang salah satunya menghasilkan NPI, untuk beralih menggunakan EBT atau setidaknya energi gas.
Selain NPI, smelter RKEF juga menghasilkan feronikel sebagai bahan baku komoditas besi dan baja nirkarat (stainless steel). Smelter nikel RKEF membutuhkan bijih nikel kadar tinggi (saprolit) sebagai bahan bakunya.
“Smelter yang berorientasi pada turunannya cuma sampai NPI dalam rangka proses untuk menuju kita mulai selektif, syaratnya sekarang salah satu dari antaranya adalah sudah harus memakai EBT, minimal gas,” ujar Bahlil dalam agenda Green Initiative Conference 2024, Rabu (25/9/2024).
Bahlil tidak menampik konsekuensi investasi terhadap pembangkit EBT atau gas adalah belanja modal atau capital expenditure (capex) yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan energi berbasis fosil seperti batu bara.
Namun, hal tersebut bisa dikompensasi dengan harga produk NPI yang nantinya bakal lebih tinggi dibandingkan dengan yang diproduksi menggunakan energi berbasis fosil seperti batu bara.
“Jadi kalau dihitung secara ekonomi, itu no issue,” ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Kementerian ESDM sudah berencana mengalihkan penggunaan energi batu bara menjadi gas pada smelter di Sulawesi. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya dekarbonisasi hilirisasi mineral.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)