Selain itu, Tokopedia juga akan memanfaatkan momentum besar seperti Ramadan dan berbagai kampanye lainnya. Hal ini bertujuan untuk tetap menjaga aktivitas perdagangan yang menguntungkan bagi penjual dan pembeli.
"Kalau untuk misalnya pengusaha beli lokal, kita kan ada tab beli lokal, nah itu masih jalan, tanggal kembar 'Promo Guncang', itu akan masih jalan, dan mungkin nanti ada momentum-momentum seperti Ramadan, campaign-campaign seperti itu masih kita jalankan. Yang jelas kita bantu seller, untuk dapat eksposur ke pembeli seluas-luas mungkin," tegas Aditia.
Adapun menyoal biaya administrasi e-commerce, Aditia menegaskan bahwa hingga saat ini, tidak ada perubahan signifikan terkait kebijakan tersebut.
Anggini Setiawan, Direktur Komunikasi TikTok Indonesia, menambahkan, perusahaan mencatatkan 125 juta pengguna aktif bulanan (MAU) dengan konten yang berada pada platformnya telah menjadi referensi pengguna sebelum membeli sebuah barang.
Angkanya mencapai 92% dari pengguna platform video pendek milik ByteDance ini "bertindak setelah nonton video yang ada di Tiktok." Kemudian, satu dari empat pengguna di dunia mengatakan, mereka meneliti suatu produk atau bahkan melakukan pembelian setelah menonton TikTok.
Tercatat kategori yang paling populer di Tokopedia adalah; hampers, pohon Natal, dan dekorasi Natal. Sedangkan di ShopTokopedia (dulu bernama TikTokShop) adalah; kecantikan, fashion wanita, dan fashion muslim.
Sempat menjadi bahan perbincangan di media sosial sebelumnya bahkan TikTok telah mengumumkan perubahan penetapan PPN yang berlaku mulai 1 Januari 2025 menjadi 12% dari sebelumnya 11% sebagai bagian dari kepatuhan pada Undang-Undang tentang Harnomisasi Peraturan Perpajakan.
Apakah PPN 12% Sebabkan Inflasi Tinggi?
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengklaim kenaikan PPN tidak menurunkan daya beli secara signifikan. Sebab, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% terhadap inflasi adalah 0,2%.
Selain itu, pemerintah juga tetap akan menjaga inflasi sesuai target anggaran pendapatan dan belanja negara [APBN] 2025 di kisaran 1,5%-3,5%.
“Berdasarkan hitungan pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6% [year on year atau yoy]. Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan,” ujar Dwi dalam siaran pers, Sabtu (21/12/2024).
Dwi mengatakan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang atau jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat.
“Berkaca pada periode kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, dampak terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan,” ujarnya.
Dwi tidak menampik tingkat inflasi pada 2022 adalah 5,51%, tetapi terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) akibat kenaikan permintaan dari masyarakat usai pandemi Covid-19. “Sepanjang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%,” ujarnya.
Dalam laporannya, Center of Economic and Law Studies (Celios) menentang argumentasi DPJ Kemenkeui. Lonjakan inflasi dari 3,47% menjadi 4,9% “hanya dalam kurun waktu tiga bulan pasca kenaikan PPN [periode kenaikan awal dari 10% menjadi 11%] pada bulan April 2022,” terang lembaga think tank tersebut.
“Sementara kebijakan kenaikan BBM dilakukan Desember 2022. Artinya, anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh kenaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan suplai pangan yang terjadi sepanjang tahun pada 2022.”
Kajian yang dilakukan oleh para ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menghitung, kenaikan tarif PPN jadi 12% berpotensi menggerus konsumsi rumah tangga hingga sebesar 0,26%.
Akibat motor utama pertumbuhan tertekan makin dalam, laju ekonomi RI berisiko makin melemah dengan penurunan PDB diperkirakan mencapai 0,17% akibat penerapan PPN 12%.
Data terakhir yang dilansir Bank Indonesia, tingkat konsumsi (consumption rate) masyarakat pada Oktober lalu, terlempar lagi ke level Januari yakni sebesar 74,5%.
Tingkat konsumsi sehari-hari juga masih berada dalam tren penurunan di mana pada Mei lalu sempat di 104,6, akan tetapi pada Oktober menyentuh level 95,0.
(wep)