Logo Bloomberg Technoz

Badai PHK sepanjang tahun 2024 yang lebih buruk dibanding tahun lalu, boleh jadi akan berlanjut makin besar tahun depan menyusul berbagai kebijakan Pemerintah RI, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12%, yang potensial mengerosi kinerja penjualan ritel akibat pelemahan daya beli masyarakat.

Kinerja penjualan industri yang kian mengempis, dapat makin membebani para pelaku usaha. Pengurangan tenaga kerja sudah menjadi opsi para pemilik usaha dalam beberapa bulan terakhir seiring dengan manufaktur yang terkontraksi selama lima bulan beruntun.

Bukan cuma itu, situasi tahun depan juga dibayangi potensi pecahnya Perang Dagang 2.0 seiring kembalinya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat dengan sejumlah kebijakan proteksionisme, mengancam perdagangan dunia makin terfragmentasi.

Mengacu data terakhir yang dilansir Badan Pusat Statistik, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memang telah turun ke level 4,91%, turun 0,41 persen poin dibanding tahun sebelumnya.

Akan tetapi, berbagai data lebih terperinci menunjukkan kondisi ketenagakerjaan domestik tertekan, tak lebih baik daripada kondisi Pandemi Covid-19 kala perekonomian terjebak resesi.

Sektor informal di Indonesia masih mendominasi, mencapai 83,83 juta orang atau sekitar 57,95% dari total penduduk bekerja. 

Rasio Setengah Pengangguran atau Pengangguran Terpaksa juga makin besar mencapai 8%, tertinggi sejak era pandemi Covid-19.

Insentif PHK

Kalangan pengusaha sudah berulang kali menyuarakan keberatan mereka terhadap berbagai rencana kebijakan Pemerintah RI yang potensial membebani lebih jauh dunia usaha, terutama kebijakan kenaikan tarif PPN.

Bahkan, meski Pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif fiskal yang diarahkan untuk mengimbangi tekanan akibat PPN, kalangan dunia usaha menilai hal itu tidak akan cukup berdampak terutama bagi sektor padat karya.

Misalnya, terkait insentif pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta yang hanya berlaku di sektor tekstil, sepatu dan mebel.

"Ini tidak membantu pelaku usahanya, industri padat karya tidak terbantu, karena yang dibantu adalah pekerjanya. Permintaan kami adalah PPh badan yang dibantu. Supaya industri padat karya, kami tidak meminta semua sektor, tetapi paling tidak industri padat karya ini bisa terbantu kalo PPh badannya dibantu," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani.

Lalu, insentif berupa diskon 50% Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) pada sektor padat karya selama 6 bulan. Kebijakan itu juga tidak 'nendang' karena hanya berlaku hanya untuk JKK.

Selanjutnya, ada juga insentif berupa bantuan pembiayaan industri padat karya untuk revitalisasi mesin untuk produktivitas dengan subsidi bunga 5%.

Menurut Shinta, insentif tersebut tidak bisa serta-merta langsung dimanfaatkan oleh pelaku usaha karena dibutuhkan perencanaan. Padahal, industri padat karya membutuhkan insentif yang bisa berdampak secara cepat. 

Dunia usaha yang tertekan akan terdesak untuk makin ketat menggeber efisiensi. Risiko PHK kemungkinan masih akan besar tahun depan.

Sementara bagi pekerja terkena PHK, Pemerintah RI menyiapkan insentif sebesar 60% dari gaji pokok selama enam bulan pada 2025. Insentif itu diberikan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan.

Pekerja ter-PHK juga diberikan manfaat pelatihan sebesar Rp2,4 juta dan kemudahan akses informasi pekerjaan.

(rui/aji)

No more pages