Di sisi lain, hingga saat ini 60% pembangkit China masih berbasis batu bara, kendati raksasa Asia Timur itu makin mengebut penggunaan energi bersih seperi panel surya dalam bauran energi primernya.
Akan tetapi, saat ini ongkos tarif listrik yang berasal dari batu bara masih jauh lebih murah ketimbang EBT. Hal tersebut akan menjadi katalis yang menjaga permintaan si batu hitam tetap kuat pada tahun depan.
“Kami memperkirakan rata-rata harga batu bara akan berada di level US$140 per ton untuk 2025,” kata Rizal.
Pasar Domestik
Di dalam negeri, saat ini pemerintah juga masih akan mengandalkan energi fosil sebagai sumber utama pembangkit listrik, alih-alih mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) sebagai alternatif yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Walhasil, target bauran EBT tahun ini diproyeksi hanya akan tercapai 14%, gagal mencapai bidikan 17%, karena regulasi yang belum menarik untuk pemain sektor EBT.
“Pemerintah juga di sisi lain masih mengandalkan energi fosil, dibuktikan dengan target lifting minyak [yang dipatok sebanyak] 1 juta barel per hari pada 2030 [kemudian diundur menjadi sekitar 2032—2033],” ujar Rizal.
Berdasarkan data dari Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM per 20 Desember 2024, produksi batu bara nasional telah mencapai 788,15 juta ton atau 111,01% dari rencana produksi sebesar 710 juta ton.
Sementara itu, realisasi ekspor batu bara mencapai 406,25 juta ton dan realisasi serapan domestik mencapai 357,35 juta ton.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga meyakini permintaan batu bara dunia akan tetap tinggi dalam beberapa tahun mendatang, setidaknya selama Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq meyakini, di luar faktor Trump, selama stabilitas keamanan dunia akibat krisis Eropa Timur dan Timur Tengah masih tinggi, permintaan batu bara juga akan tetap tinggi.
“Saya yakin permintaan batu bara akan tetap tinggi. Apalagi dengan kebijakan ekonomi AS ke depan pascaterpilihnya Presiden Trump pasti akan berpengaruh terhadap harga bahan bakar fosil mengingat Presiden Trump kurang mendukung transisi energi ke bahan bakar ramah lingkungan,” kata Julian kepada Bloomberg Technoz.
Permintaan batu bara dalam beberapa tahun ke depan, kata Julian, juga akan tergantung pada kinerja industri dan kebutuhan energi dunia serta progres dan komitmen dunia terhadap transisi energi dari fosil ke energi ramah lingkungan.
International Energy Agency (IEA) sebelumnya memproyeksikan permintaan batu bara dunia akan mencapai sekitar 8,77 miliar ton pada 2024, rekor tertinggi sejarah, dan melanjutkan level tinggi tersebut hingga 2027.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)