Dari sisi harga, volatilitas tetap menjadi ciri utama pasar batu bara. Dengan permintaan yang masih kuat dan potensi gangguan pasokan, harga pada 2025 diperkirakan tetap di rentang yang sama seperti periode 2024 dalam jangka pendek hingga menengah; tergantung pada kondisi pasar global.
“[Seperti] Kesenjangan logistik dan infrastruktur di beberapa wilayah [Laos] produsen batu bara dan adanya tekanan dari negara-negara maju untuk percepatan transisi energi,” kata Niko kepada Bloomberg Technoz, dikutip Minggu (22/12/2024).
Sementara itu, analis Panin Sekuritas Rizal Nur Rafly memproyeksikan permintaan batu bara masih akan kuat selagi China mengandalkan komoditas tersebut bagi pembangkit listriknya. Harga batu bara pun diproyeksikan berada di level US$140/ton pada 2025.
Dia menyebut hingga saat ini sekitar 60% pembangkit listrik di China masih menggunakan batu bara, meski adopsi energi baru terbarukan (EBT) di negara tersebut juga makin masif.
Akan tetapi, saat ini ongkos tarif listrik yang berasal dari batu bara jauh lebih murah ketimbang EBT. Hal tersebut akan menjadi katalis yang menjaga permintaan si batu hitam tetap kuat pada tahun depan.
“Kami memperkirakan rata-rata harga batu bara akan berada di level US$140 per ton untuk 2025,” kata Rizal saat dihubungi, medio pekan ini.
Pada Kamis (19/12/2024), harga batu bara di pasar ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman bulan ini ditutup di US$127,75/ton, turun 0,66% secara harian sekaligus menjadi yang terendah sejak 22 Maret atau nyaris 9 bulan terakhir.
Dalam sepekan terakhir, harga batu bara terpangkas 3,95% secara point-to-point. Selama sebulan ke belakang, harga berkurang 9,72%. Tahun ini juga bukan menjadi periode manis buat batu bara. Sepanjang 2024 atau year to date (ytd), harga minus 12,74%.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga meyakini permintaan batu bara dunia akan tetap tinggi dalam beberapa tahun mendatang, setidaknya selama Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq meyakini, di luar faktor Trump, selama stabilitas keamanan dunia akibat krisis Eropa Timur dan Timur Tengah masih tinggi, permintaan batu bara juga akan tetap tinggi.
“Saya yakin permintaan batu bara akan tetap tinggi. Apalagi dengan kebijakan ekonomi AS ke depan pascaterpilihnya Presiden Trump pasti akan berpengaruh terhadap harga bahan bakar fosil mengingat Presiden Trump kurang mendukung transisi energi ke bahan bakar ramah lingkungan,” kata Julian kepada Bloomberg Technoz.
Permintaan batu bara dalam beberapa tahun ke depan, kata Julian, juga akan tergantung pada kinerja industri dan kebutuhan energi dunia serta progres dan komitmen dunia terhadap transisi energi dari fosil ke energi ramah lingkungan.
Sementara itu, dari sisi suplai, penawaran akan tergantung dari produksi batu bara di China dan India karena keduanya merupakan produsen sekaligus pemakai batu bara.
Namun, produksi Indonesia juga tak kalah penting untuk mengisi kebutuhan pasar dunia. Dia menggarisbawahi apabila RI kelebihan produksi, harga akan jatuh. “Sedangkan kalau under produksi ya harga akan naik,” ujar Julian.
International Energy Agency (IEA) memproyeksikan permintaan dunia terhadap batu bara bakal terus mencapai rekor tertinggi tiap tahunnya, setidaknya hingga 2027, saat konsumsi energi fosil diproyeksi mulai menurun.
IEA memprediksi permintaan batu bara akan naik menjadi 8,77 miliar ton pada 2024, dan melanjutkan level tinggi tersebut hingga 2027.
Akan tetapi, sejalan dengan hal tersebut, penggunaan sumber energi terbarukan diprediksi tetap memainkan peran yang lebih besar dalam ketenagalistrikan global. Permintaan dari China—konsumen batu bara terbesar — juga diperkirakan menurun.
(mfd/wdh)