"Tentu penting untuk memperhatikan masukan dan saran dari pelanggan," ujarnya.
Adapun, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyebut bahwa koridor 1 Blok-M Kota akan dihapus untuk menghemat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk subsidi transportasi atau public service obligation (PSO).
Jika MRT Jakarta fase 2A beroperasi, terangnya, jalur pada layanan Lebak Bulus—Kota akan menjadi sama 100% dengan rute Transjakarta Blok M—Kota.
"Kita harus melakukan efisiensi pengelolaan dana PSO, dana Subsidi. Di mana, berdasarkan hasil kajian terhadap layanan angkutan umum masal yang sifatnya paralel 100%, otomatis akan ada dua subsidi di sana," kata Syafrin kepada wartawan di Jakarta, Minggu (22/12/2024).
Lebih lanjut, Syafrin menekankan halte dan bus yang selama ini melayani rute di koridor 1 tetap ada. Namun, akan ada pengubahan rute dan titik-titik pemberhentian halte dari tujuan tersebut.
"Untuk koridor Blok M kota ini akan dilakukan rerouting, tetapi menunggu setelah selesai pembangunan MRT Fase 2 A dan MRT operasional full sampai dengan ke Kota. Insyallah nanti itu akan operasional kita harapkan pada 2029," ungkap dia.
"Jadi tidak ada yang haltenya jadi mubazir karena tetap termanfaatkan untuk integrasi antara angkutan jalan dengan angkutan rel," tambahnya.
Ditolak Keras
Wacana penghapusan rute Koridor 1 Transjakarta tersebut ditentang oleh kalangan pakar transportasi. Ketua Institut Studi Transportasi Ki Darmaningtyas menilai wacana tersebut tidak tepat lantaran pengguna Transjakarta berbeda karakter dengan MRT; baik dari sisi sosial ekonomi, tarif, maupun pola perjalanannya.
Dengan demikian, menurutnya, keberadaan MRT tidak bisa menggantikan layanan Transjakarta Kordiror 1, meskipun rutenya bersinggungan.
“Ini jelas langkah yang tidak tepat, untuk tidak menyebut konyol. Kadishub dipastikan tidak tahu kondisi langan, termasuk kondisi pelanggan MRT dan Transjakarta. Kalau memahami kondisi atau karakter pelanggan MRT dan Transjakarta, tentu tidak akan mengeluarkan pernyataan tersebut,” tegasnya melalui keterangan tertulis, dikutip Minggu (22/12/2024).
Pertama, dari aspek sosial ekonomi, pelanggan MRT cenderung memiliki kelas yang lebih tinggi daripada Transjakarta. Dengan demikian, menurutnya, sangat tidak realistis memindahkan pelanggan Transjakarta ke MRT.
Darmaningtyas berpendapat, begitu pelanggan Transjakarta dipaksa pindah ke MRT karena layanan Koridor 1 dihapuskan, mereka akan pindah ke sepeda motor dan hal tersebut kontraproduktif dengan upaya pemerintah memacu penggunaan kendaraan umum.
Kedua, dari sisi tarif, dia mengatakan MRT jelas jauh lebih mahal karena tarifnya ditentukan berdasarkan jarak tempuh.
Saat ini saja, tarif MRT jurusan Lebak Bulus—Bunderan HI mencapai Rp14.000, sedangkan Transjakarta hanya Rp3.500.
“Seandainya pada 2027 tarif Transjakarta naik menjadi Rp5.000, akan tetap jauh lebih murah dibandingkan dengan tarif MRT dari Lebak Bulus sampai Kota yang mungkin bisa mencapai Rp30.000. Dengan tarif sebesar itu, jelas tidak mungkin terjangkau oleh pengguna Transjakarta. Tarif itu terjangkau bagi pengguna mobil pribadi,” paparnya.
Ketiga, dari sisi pola perjalanan, pengguna Transjakarta berbeda karakter dengan MRT. Pelanggan Koridor 1 dinilai sudah mengalami pergeseran dengan 21 tahun silam saat koridor tersebut pertama kalinya dioperasikan untuk rute Blok M—Kota.
Saat itu, menurut Darmaningtyas, sebagian pelanggan dari Blok M banyak naik dari Halte Ratu Plaza (Bunderan Senayan) sampai dengan Monas, dan banyak turun mulai dari Halte Dukuh Atas hingga Harmoni.
(dec/wdh)