Di Brasil, bank sentral negeri Samba itu dilaporkan telah menghabiskan sekitar US$17 miliar dalam sepekan terakhir untuk mengintervensi pasar demi menahan kejatuhan mata uang real. Nilai itu setara dengan Rp275,31 triliun.
Pada Kamis lalu ketika indeks dolar AS menjebol 108, real terpukul dalam. Banco Central do Brasil yang dipimpin oleh Gubernur Roberto Campos Neto itu menggelar lelang spot penjualan dolar AS senilai US$ 8 miliar, sekitar Rp129,56 triliun. Itu menjadi penjualan dolar terbesar harian sejak 1999. Lalu berlanjut lagi pada Jumat senilai US$ 4 miliar dan US$ 3 miliar.
Jurus kilat itu berhasil. Nilai tukar real menguat langsung 2,4% pada Kamis. Hari ini, real mencatat penguatan lanjutan 0,91%. Namun, secara mingguan mata uang ini masih membukukan pelemahan 0,46%. Bahkan sepanjang tahun ini telah merosot nilainya 20,2% year-to-date, membuatnya menjadi mata uang besar terburuk di dunia. Mata uang Brasil bukan hanya menghadapi guncangan eksternal. Kekhawatiran akan defisit fiskal negeri itu juga telah membebani pamornya.

Bila biaya mempertahankan nilai tukar gamblang terungkap di Brasil, tidak demikian halnya di Indonesia.
Berapa persis nilai intervensi yang digelontorkan oleh Bank Indonesia ketika rupiah menjebol level Rp16.300/US$ secara cepat, kemungkinan baru terlihat pada publikasi posisi cadangan devisa pada 6 Januari nanti. Pada November lalu, cadangan devisa RI terkuras 'hanya' US$990,7 juta ketika rupiah terguncang 'Trump Trade'.
Namun, BI aktif memakai pendekatan verbal ke pasar selain langsung mengintervensi pasar. Beberapa kali, pejabat teras di Thamrin menyatakan akan dengan berani masuk ke pasar menstabilkan nilai tukar rupiah demi membangun kepercayaan pasar.
"Kami akan menjaga rupiah dengan berani untuk membangun kepercayaan pasar," kata Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto.
Jurus verbal dilakukan mengiringi intervensi BI di tiga penjuru sekaligus, yakni pasar spot valas, pasar forward domestik, juga pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Hasilnya lumayan. Setelah sempat menyentuh Rp16.305/US$ pagi tadi, rupiah akhirnya berhasil ditutup lebih kuat di Rp16.195/US$ di pasar spot. Itu menjadi level penutupan positif pertama kali dalam sembilan hari perdagangan terakhir. Meski secara mingguan rupiah masih membukukan pelemahan 1,23%.
Di Hungaria, jurus berbeda ditempuh oleh bank sentral negeri itu. Otoritas moneter Hungaria mengerek suku bunga penawaran swap mata uang asing (fx-swap) demi menahan pelemahan forint.
Mata uang ini telah melemah 2,38% dalam sepekan terhadap dolar AS, kejatuhan terburuk sejak awal Oktober lalu. Selain karena faktor dolar AS, pelemahan forint juga tertekan risiko geopolitik di negeri Eropa Timur itu.
"Sulit untuk melawan dolar AS yang kuat," kata Christopher Wong, Strategist OCBC di Singapura, dilansir dari Bloomberg News.
"Intervensi dalam lingkungan seperti itu hanya dapat memperlambat laju depresiasi mata uang. Meski demikian, bank sentral mungkin masih harus menggunakan campuran alat intervensi verbal dan aktual," kata analis.
Jurus tambahan disiapkan
Apa yang terjadi pasar pekan lalu, seolah menjadi 'menu pembuka' sebelum gejolak lebih besar kemungkinan akan terjadi, begitu Donald Trump resmi menghuni Gedung Putih pada Januari nanti.
Trump yang bakal mengusung kebijakan proteksionisme di bawah jargon 'America First' potensial menggelorakan lagi Perang Dagang 2.0.
Penting untuk dicatat, perang dagang pada periode kedua Trump boleh jadi bukan hanya mengincar China tetapi juga menyenggol negara-negara lain seperti Kanada dan Meksiko, bahkan Uni Eropa. Dampaknya ke perekonomian dunia boleh jadi akan lebih besar ketimbang periode pertama pada 2017-2021 lalu.
Pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia bergerak menyiapkan sejumlah antisipasi dan mitigasi agar dampak buruk dari Perang Dagang 2.0 itu tidak mudah merapuhkan benteng ketahanan eksternal mereka.

Bank sentral Korea, misalnya, berencana melonggarkan batas atas posisi forward bank di negeri itu hingga 50%, demi meningkatkan arus masuk modal asing dan mengatasi ketidakimbangan supply-demand di pasar mata uang lokal. Won Korsel menjadi valuta Asia terburuk urutan lima pekan ini dengan pelemahan 0,92%. Bahkan, sepanjang tahun ini won sudah tergerus 11,09%, terburuk di Asia. Itu termasuk karena faktor gejolak politik dalam negerinya.
Di Tiongkok, bank sentral negeri itu (PBOC) melawan dominasi the greenback dengan mematok kurs referensi harian (fixing rate) di level lebih kuat secara signifikan, melampaui perkiraan pasar.
Adapun Indonesia, dari sisi moneter, BI belum menyiapkan gebrakan baru. Triple intervention masih jadi andalan dengan optimalisasi operasi moneter melalui tiga instrumen yakni Sekuritas Rupiah (SRBI), Sekuritas Valas (SVBI) serta Sukuk Valas (SUVBI).
Dalam taklimat media usai pengumuman hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur hari Rabu lalu, Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti menyatakan, BI mengoptimalkan penerapan primary dealers, sebanyak 20 bank, sejak Mei lalu.
Sejauh ini, menurut BI, kebijakan itu telah membantu peningkatan transaksi SRBI di pasar sekunder, serta repurchase agreement (repo) antar pelaku pasar. Hal itu memperkuat efektivitas instrumen moneter dalam stabilisasi rupiah dan pengendalian inflasi.

Yang terbaru, Pemerintah RI melontarkan rencana untuk memperkuat kebijakan repatriasi devisa bagi eksportir Sumber Daya Alam (DHE-SDA). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto mengatakan pada Jumat sore, Pemerintah tengah menggodok perubahan regulasi DHE-SDA.
Belum jelas seperti apa revisi regulasi repatriasi devisa tersebut. Yang pasti, itu ditujukan agar suplai dolar AS di dalam negeri bisa lebih banyak sehingga rupiah lebih kuat.
Sejak diberlakukan pada tahun lalu, kepatuhan eksportir telah membaik. Namun, melihat dampak pada penguatan rupiah tidak terlalu terlihat, Pemerintah RI berniat meningkatkan jumlah devisa yang bisa ditarik ke dalam negeri.
Airlangga juga menyatakan, Pemerintah akan mendorong ekspor lebih laju agar devisa bisa melimpah. Langkah lain adalah mendorong investasi untuk substitusi impor. Kinerja impor berbasis dolar AS akan ditekan lebih rendah.
Data terakhir kinerja perdagangan RI pada November mencatat lonjakan nilai surplus neraca dagang sebesar US$4,42 miliar, jauh melampaui capaian bulan sebelumnya US$2,34 miliar.
Lonjakan nilai surplus itu, yang menjadi posisi surplus dalam 55 bulan tanpa putus, berkat kenaikan impor hingga 9,14% ketika impor stagnan dengan kenaikan cuma 0,01% year-on-year.
Level normal baru
Pada 2025, menurut analisis tim Bloomberg Intelligence Stephen Chiu dan Chunyu Zhang, mata uang Asia termasuk rupiah kebanyakan akan jatuh melemah tertekan oleh dolar AS, terutama disetir oleh perang dagang yang digelorakan oleh Trump.
Pasar mungkin akan memperhitungkan tema “beggar-thy-neighbour” pada tahun 2025, dengan pandangan bahwa berbagai bank sentral di Asia mungkin lebih bersedia melihat mata uang mereka terdepresiasi untuk melawan dampak negatif terhadap volume ekspor mereka akibat tarif AS.
"Tentu saja, bank sentral mungkin masih mengambil tindakan untuk memperlancar depresiasi mata uang pada berbagai tingkat psikologis, namun tujuannya mungkin adalah untuk memastikan terjadinya pelemahan yang teratur dan bukannya membalikkan tren. Yuan offshore, peso, dan rupee mungkin mencapai rekor terendah terhadap dolar pada tahun 2025," kata analis Bloomberg Intelligence dalam risetnya.

Analis mencatat, rupiah memiliki level psikologis Rp16.500/US$ yang pernah tertembus pada saat pandemi Covid-19, tepatnya di Rp16.575/US$. Level itu akan menjadi titik krusial yang menentukan.
Analis Forex Doo Financial Futures Lukman Leong menilai, rupiah berpotensi makin tertekan hingga ke kisaran Rp17.000/US$, di tengah tren pelemahan hampir semua mata uang dunia terhadap dolar AS akibat kebijakan-kebijakan Trump nanti yang potensial memicu inflasi.
"Bukan hanya rupiah [yang melemah]. Ini karena dolar AS yang menguat sehingga semua mata uang lawannya lemah. Level Rp16.000/US$ akan menjadi kenormalan baru," kata Lukman, yang menilai dunia perlu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS agar tidak 'tersandera' terus menerus seperti saat ini.
-- dengan bantuan laporan Dovana Hasiana.
(rui)