Secara hukum, perceraian diakui di Korea Utara, tetapi tidak ada ketentuan mengenai hukuman kerja paksa dalam aturan tersebut.
Sumber lain mengatakan kepada RFA bahwa seorang warga pernah menjalani tiga bulan kerja paksa akibat perceraian. Menurut pengakuannya, sekitar 30 dari 120 orang di kamp tersebut berada di sana karena perceraian, dengan mayoritas perempuan menjalani hukuman lebih lama dibandingkan laki-laki.
Hal ini, menurut sumber tersebut, karena kebanyakan perceraian diajukan oleh perempuan, seringkali akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami.
Laporan Februari oleh Kementerian Unifikasi Korea Selatan menyebutkan, dalam survei terhadap 2.432 pembelot, 28,7 persen perempuan dan 15,2 persen laki-laki di Korea Utara pernah bercerai. Laporan itu juga mencatat bahwa perceraian sering membawa kerugian sosial, dan suap sering diperlukan untuk menyelesaikan proses perceraian.
Sementara itu, laporan Januari oleh Korea Institute for National Unification, yang didasarkan pada wawancara dengan 71 pembelot, mengungkapkan bahwa semakin banyak perempuan di Korea Utara memilih hidup bersama pasangan tanpa menikah untuk menghindari risiko perceraian.
(del)