Data realtime Bloomberg menunjukkan, rupiah bergerak menguat ke Rp16.280/US$ pada pukul 12:03 WIB, setelah sebelumnya bahkan sempat menyentuh Rp16.258/US$.
Penguatan rupiah memang masih tipis, hanya 0,06%. Bila level saat ini bertahan sampai tutup pasar pukul 15.00 WIB nanti, rupiah berpotensi membukukan pelemahan 1,75% secara mingguan, terburuk di Asia nomor dua setelah yen Jepang yang turun 2,20%.
Sampai tengah hari ini, rupiah bergeser sekelompok dengan mata uang Asia yang menguat sejauh ini, dipimpin oleh yen Jepang 0,22%, peso 0,14%, juga dolar Singapura dan yuan offshore yang naik tipis.
Adapun mata uang Asia lain masih tertekan oleh dolar AS. Won Korsel sudah tergerus 0,22%, baht 0,19%, ringgit 0,14%, dolar Taiwan 0,11% juga yuan Tiongkok 0,04% dan rupee India 0,01%.
Penguatan lagi rupiah meski tipis sepertinya juga didukung oleh animo yang berangsur bangkit di pasar saham. IHSG pada penutupan sesi pertama perdagangan ditutup naik 0,26%.
Sementara di pasar SBN, relatif stabil di mana tenor 10Y turun tipis ke 7,063%. Sedangkan tenor pendek 2Y masih naik 1,2 bps dan tenor 30Y juga naik tipis 0,5 bps. Tenor 5Y masih di 7,04%.
Arus modal asing tercatat melepas posisi di saham sebesar US$57,7 juta, setara dengan Rp939 miliar, pada perdagangan Kamis kemarin.
Sedangkan di pasar SBN, asing melepas US$46,6 juta, setara Rp758,64 miliar pada 16 Desember, sesuai data terakhir yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan RI.
Kenormalan baru
Kisaran rupiah di level Rp16.000-an per dolar AS seperti saat ini, diperkirakan akan menjadi sebuah kenormalan baru, memasuki tahun 2025 kelak ketika Pemerintahan AS resmi dipimpin oleh Donald Trump.
Trump yang sudah bersiap menerapkan kebijakan proteksionisme di bawah jargon 'America First' dan bersifat 'inward looking', di tengah potensi defisit fiskal yang bakal makin menganga akibat rencana belanja besar, berpeluang membawa dolar AS makin kuat. Imbal hasil surat utang AS, Treasury, juga akan bertahan di kisaran tinggi.
Dalam riset JP Morgan yang dilansir awal Desember lalu, Indonesia memang akan menghadapi prospek lingkungan suku bunga lebih tinggi yang lebih lama, ditambah potensi skenario Perang Dagang 2.0 yang telah memicu penguatan dolar AS.
"Hal itu akan berdampak negatif pada negara-negara dengan defisit transaksi negatif termasuk Indonesia. Namun, mengingat sifat ekonomi Indonesia yang defensif dan berorientasi domestik dengan kontribusi konsumsi rumah tangga >50% terhadap Produk Domestik Bruto, hal itu dapat menyebabkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain di kawasan," kata Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Henry Wibowo, dikutip Jumat (20/12/2024).
Dalam skenario bull, IHSG berpotensi menyentuh 8.400 tahun depan dengan asumsi rupiah menguat ke Rp15.000/US$ didukung oleh defisit transaksi berjalan yang lebih baik, arus masuk investasi langsung asing (FDI) yang lebih baik juga ketangguhan konsumsi domestik. Skenario itu juga membutuhkan arus masuk modal asing yang pasar saham.
Sedangkan dalam skenario bear, IHSG bisa terperosok ke 6.500. Skenario itu adalah bila terjadi penurunan proyeksi pertumbuhan PDB lebih lanjut, ditambah inflasi lebih tinggi serta daya beli konsumen yang lebih lemah. "Juga, depresiasi rupiah yang cepat hingga ke Rp17.000/US$," demikian riset menyebutkan.
JP Morgan memprediksi, nilai tukar rupiah rata-rata bergerak di kisaran Rp16.275-Rp16.400/US$ pada 2025.
Saat ini, Indonesia tengah menghadapi situasi pelemahan konsumsi rumah tangga. Tahun depan, dengan penerapan berbagai pungutan baru yang potensial membebani belanja konsumen, daya beli dikhawatirkan semakin lemah. Bahkan, pungutan baru seperti kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diprediksi akan menaikkan inflasi domestik.
Survei Bloomberg terhadap para ekonomi yang dilansir bulan lalu memperkirakan, ekonomi RI pada 2025 hanya tumbuh 5% dengan potensi mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan mencapai 10%. Senada, Asian Development Bank (ADB) juga memprediksi, ekonomi Indonesia hanya tumbuh di kisaran tersebut.
Sementara Bank Indonesia memproyeksikan perekonomian RI tahun depan di kisaran 4,8%-5,6%.
(rui)