Bloomberg Technoz, Jakarta - Tekanan terhadap nilai tukar rupiah membuat pelaku usaha mulai menghitung ulang potensi kenaikkan biaya produksi. Nyaris semua sektor mengalami situasi yang sama, termasuk sektor pertambangan, dimana komoditas yang diekspor dilepas dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia/Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berdampak pada perusahaan pertambangan.
“Dampak negatifnya membuat biaya operasional yang setiap tahunnya itu [sudah] meningkat akan lebih meningkat lagi. Sebagian besar komponen alat berat itu masih impor, kemudian biaya kontraktor sebagian besar dalam USD dan komponen biaya lainnya,” kata Hendra saat dihubungi, (20/12/2024).
Untuk mengantisipasi hal itu, perusahaan akan memaksimalkan produksi sesuai dengan rencana atau target dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dan akan melakukan efisiensi. Seperti efisiensi operasional penambangan, penggunaan alat, efisiensi dalam waktu kerja, cost efisiensi, dan lainnya.
Sekadar catatan, kemarin rupiah akhirnya tembus ke level Rp16.300/US$, terlemah sejak akhir Juli lalu, diterjang arus jual pemodal yang masif sepanjang hari ini.
Mengacu data realtime Bloomberg, rupiah spot sudah diperdagangkan di level Rp16.300/US$, mencerminkan pelemahan 1,3% dan membawa rupiah sebagai valuta terlemah di Asia sampai jelang penutupan pasar Kamis ini.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut pelemahan nilai tukar rupiah juga berimbas terhadap sektor pertambangan karena alat pendukungnya seperti suku cadang diimpor dari luar negeri.
“Akan tetapi, kita lihat mudah-mudahan mampu di-manage [kelola] dengan baik oleh pelaku usaha. Nah, sekarang tugas kita itu adalah bagaimana mengurangi impor agar kemudian kebutuhan kita terhadap dolar tidak terlalu banyak,” jelas Bahlil kemarin.
“Naik atau turunnya sebuah nilai mata uang itu kan tergantung hukum permintaan sebenarnya.”
Rumor DHE
Di sisi lain, Hendra menuturkan pelemahan rupiah memberikan angin segar bagi perusahaan tambang yang produknya diekspor karena kurs dolar menguat.
Namun, dia menggarisbawahi bagi perusahaan yang berbasis ekspor penguatan kurs dolar tidak terlalu memberikan dampak yang besar karena adanya kewajiban penempatan 30% devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) selama minimal 3 bulan.
“Rumorsnya kebijakan tersebut bakal lebih diperketat,” tutur Hendra.
Sekadar catatan, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam mengatur kewajiban eksportir untuk memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia paling sedikit 30% dan paling singkat 3 bulan.
Belakangan ramai desas-desus wacana kenaikan wajib penempatan DHE SDA di dalam negeri dari sebelumnya 30% menjadi 50%.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah tengah mengkaji perpanjangan jangka waktu penempatan devisa hasil ekspor (DHE) dari saat ini selama tiga bulan untuk sektor mineral dan batu bara serta perkebunan.
Airlangga tidak menjelaskan dengan lengkap ihwal jangka waktu perpanjangan DHE tersebut, tetapi memastikan bakal diumumkan dalam waktu dekat.
“Pemerintah sendiri sedang mengkaji untuk DHE yang kemarin tiga bulan waktunya diperpanjang lagi. Masih akan dikaji dalam waktu dekat akan diumumkan, pasti akan diperpanjang dan sektornya adalah minerba dan hasil dari perkebunan. Sekarang sedang kita bahas dengan Bank Indonesia terkait insentif yang bisa diberikan,” ujar Airlangga saat ditemui di sela Rapimnas Kadin 2024, Minggu (1/12/2024).
Airlangga mengatakan hal ini dilakukan karena Indonesia membutuhkan dolar, yang hanya bisa didapatkan melalui devisa.
(mfd/hps)