Hasil Pertemuan Komite Terbuka The Fed (FOMC) yang diumumkan pada Kamis dini hari lalu membuyarkan harapan pelaku pasar global akan prospek pelonggaran moneter tahun depan. The Fed yang semula memberi petunjuk akan ada empat kali pemangkasan bunga acuan sebanyak 100 basis poin pada 2025, menguranginya menjadi tinggal dua kali pemangkasan.
Sinyal The Fed itu dinilai sebagai respon dan antisipasi terhadap kebijakan Pemerintah AS ke depan di bawah rezim Donald Trump yang sudah bersiap menerapkan kebijakan proteksionisme di bawah jargon 'America First'. Kebijakan 'inward looking' ala Trump dikhawatirkan akan membangkitkan lagi inflasi di negeri itu.
Di sisi lain, rencana belanja yang besar untuk mendukung semua program Trump, diyakini akan melesatkan defisit fiskal AS sehingga negeri adidaya itu butuh mencetak utang lebih banyak lagi. Akibatnya, para pemegang surat utang AS, Treasury, sudah mulai gelisah meminta imbal hasil lebih tinggi lagi.
Pada dua isu itu, dampaknya adalah yang terlihat pada perdagangan Kamis. Indeks dolar AS melesat menyentuh 108, tertinggi dalam 25 bulan terakhir. Sedangkan tingkat imbal hasil Treasury menyentuh 4,45% untuk tenor panjang 10 tahun dan 4,35% untuk tenor 2 tahun.
Kenaikan imbal hasil investasi di negeri dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia itu, tak ayal menyedot likuiditas di pasar global kembali pulang. Tak terkecuali dari Indonesia yang sejauh ini termasuk kategori emerging market, pasar negara berkembang.
Dana investor keluar secara masif dari pasar saham, surat utang juga rupiah. IHSG ambles meninggalkan 7.000-an, sementara yield Surat Utang Negara tenor 10 tahun makin tinggi di 7,08%. Tenor 5 tahun bahkan menyentuh level tertinggi di atas 7% lagi. Alhasil, rupiah terkapar.
Rupiah yang tahun ini sempat menyentuh level terkuat di Rp15.100/US$ pada 25 September setelah pada 21 Juni ambles ke Rp16.450/US$, kini kembali terperosok ke level Rp16.290/US$. Dalam perdagangan spot intraday kemarin, rupiah bahkan sempat menyentuh Rp16.300/US$.
Skenario Rupiah
Dalam riset JP Morgan yang dilansir awal Desember lalu, Indonesia memang akan menghadapi prospek lingkungan suku bunga lebih tinggi yang lebih lama, ditambah potensi skenario Perang Dagang 2.0 yang telah memicu penguatan dolar AS.
"Hal itu akan berdampak negatif pada negara-negara dengan defisit transaksi negatif termasuk Indonesia. Namun, mengingat sifat ekonomi Indonesia yang defensif dan berorientasi domestik dengan kontribusi konsumsi rumah tangga >50% terhadap Produk Domestik Bruto, hal itu dapat menyebabkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain di kawasan," kata Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Henry Wibowo, dikutip Jumat (20/12/2024).
Analis menyuguhkan dua skenario bull dan bear untuk IHSG tahun depan dengan rupiah sebagai salah satu variabel penting.
Dalam skenario bull, IHSG berpotensi menyentuh 8.400 tahun depan dengan asumsi rupiah menguat ke Rp15.000/US$ didukung oleh defisit transaksi berjalan yang lebih baik, arus masuk investasi langsung asing (FDI) yang lebih baik juga ketangguhan konsumsi domestik. Skenario itu juga membutuhkan arus masuk modal asing yang pasar saham.
Sedangkan dalam skenario bear, IHSG bisa terperosok ke 6.500. Skenario itu adalah bila terjadi penurunan proyeksi pertumbuhan PDB lebih lanjut, ditambah inflasi lebih tinggi serta daya beli konsumen yang lebih lemah. "Juga, depresiasi rupiah yang cepat hingga ke Rp17.000/US$," demikian riset menyebutkan.
JP Morgan memprediksi, nilai tukar rupiah rata-rata bergerak di kisaran Rp16.275-Rp16.400/US$ pada 2025.
Mengutip kajian Bloomberg Intelligence yang dilansir bulan ini, menerka arah rupiah juga mata uang Asia ke depan bisa berkaca dari kinerja mata uang Asia pada era Trump 1.0.
Dari era pertama Trump, ada beberapa tahap yang bisa dicermati.
Pertama, kemenangan Trump mengagetkan pasar dan menjatuhkan mata uang Asia sebagai buntut dari langkah risk-off investor di pasar, terutama karena kenaikan bunga acuan The Fed.
Lalu, dari inagurasi Trump hingga pecahnya perang dagang dengan China, kebanyakan mata uang Asia mencatat reli dengan kinerja tingkat imbal hasil rendah.
Ketiga, selama masa penerapan hukuman tarif pada China, mata uang ASEAN mencatat kinerja lebih baik dibanding mata uang lain didukung oleh ekspektasi pergeseran rantai suplai.
Terakhir, dengan pengecualian tarif, pembicaraan perdagangan dan Phase One Deal pada 2020, bersamaan dengan keputusan The Fed memangkas bunga acuan akibat pandemi Covid, kebanyakan mata uang Asia menguat tajam terutama dipimpin oleh mata uang Timur.
Pada 2025, menurut analisis tim Bloomberg Intelligence Stephen Chiu dan Chunyu Zhang, mata uang Asia kebanyakan akan jatuh melemah tertekan oleh dolar AS, terutama disetir oleh perang dagang yang digelorakan oleh Trump.
Pasar mungkin akan memperhitungkan tema “beggar-thy-neighbour” pada tahun 2025, dengan pandangan bahwa berbagai bank sentral di Asia mungkin lebih bersedia melihat mata uang mereka terdepresiasi untuk melawan dampak negatif terhadap volume ekspor mereka akibat tarif AS.
Trump menyarankan penerapan tarif 10-20% pada semua impor vs tarif 60% pada impor dari Tiongkok, dan sebagian besar perekonomian Asia mungkin memiliki kekhawatiran jika nilai yuan turun dengan cepat terhadap mata uang mereka.
"Tentu saja, bank sentral mungkin masih mengambil tindakan untuk memperlancar depresiasi mata uang pada berbagai tingkat psikologis, namun tujuannya mungkin adalah untuk memastikan terjadinya pelemahan yang teratur [lebih halus] dan bukannya membalikkan tren. Yuan offshore, peso, dan rupee mungkin mencapai rekor terendah terhadap dolar pada tahun 2025," kata analis Bloomberg Intelligence dalam risetnya.
Adapun rupiah, memiliki level psikologis Rp16.500/US$ yang pernah tertembus pada saat pandemi Covid-19, tepatnya di Rp16.575/US$. Level itu akan menjadi titik krusial yang menentukan.
Analis Forex Doo Financial Futures Lukman Leong menilai, rupiah berpotensi makin tertekan hingga ke kisaran Rp17.000/US$, di tengah tren pelemahan hampir semua mata uang dunia terhadap dolar AS akibat kebijakan-kebijakan Trump nanti yang potensial memicu inflasi.
"Bukan hanya rupiah. Ini karena dolar AS yang menguat sehingga semua mata uang lawannya lemah. Level Rp16.000/US$ akan menjadi kenormalan baru," kata Lukman, yang menilai dunia perlu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS agar tidak 'tersandera' terus menerus seperti saat ini.
Pemerintah RI mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam APBN 2025 di kisaran Rp16.000/US$ dengan yield surat utang negara 10 tahun ada di 7%.
(rui/aji)