Rupiah memimpin kejatuhan mata uang Asia, disusul Yen Jepang di belakangnya dengan penurunan 1,02%. Kemudian Baht 1%, Won Korea Selatan 0,9%, Ringgit Malaysia 0,75%, Dolar Taiwan 0,58%. Yuan Tiongkok serta Rupee India juga melemah masing-masing 0,18% dan 0,14%.
Pelemahan tersebut telah melebihi asumsi dasar ekonomi makro dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024 sebesar Rp15.000/US$.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan melemah makin dalam pada rentang Rp15.800/US$-Rp16.350/US$ tahun depan saat Donald Trump resmi menjabat sebagai Presiden AS ke-47.
"Kalau lihat Trump baru akan memberlakukan kebijakan mungkin baru tahun depan. Jadi pelemahan tahun depan akan lebih signifikan dibanding akhir tahun ini," ujar Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Bidang Perbankan dan Jasa Keuangan APINDO Aviliani.
Tamara Henderson, Ekonom Bloomberg, pernah menyampaikan bahwa stabilitas Rupiah adalah prioritas Bank Indonesia (BI) dengan mengisyaratkan jeda dalam siklus penurunan suku bunga.
Benar saja, Gubernur BI Perry Warjiyo kemarin memutuskan menahan suku bunga acuan meskipun inflasi masih berada di kisaran target bank sentral.
Awal bulan November pergerakan Rupiah masih di bawah Rp16.000/US$ dengan tanda-tanda pelemahan lanjutan dimana terdorong oleh sentimen penguatan dolar AS pasca Trump memang Pilpres AS.
Regulator bidang moneter pun sedang berjaga-jaga karena kebangkitan dolar pada kuartal ini telah memukul mata uang regional. Pada periode yang sama Rupiah berpeluang turun 5%, dilaporkan Bloomberg News.
Bank Indonesia (BI), yang masuk ke pasar untuk menjaga stabilitas Rupiah, menegaskan bahwa secara fundamental Rupiah lebih kuat dari posisi Rp16.000.
Alan Lau,ahli strategi valas dari Malayan Banking Bhd mengatakan Rupiah tengah mengalami guncangan efek situasi global dan pihak berwenang tampak berusaha meredam volatilitas tersebut.
“Pelemahan musiman dolar di bulan Desember mungkin akan lebih terbatas di tahun ini, mengingat kecemasan investor terhadap lingkungan makro dan dapat berisiko mempertahankan tekanan terhadap mata uang asing Asia,” jelas dia.
(wep)