TikTok meminta Mahkamah Agung untuk sementara menangguhkan penerapan undang-undang tersebut sambil meninjau kasus ini. Namun, Mahkamah memutuskan untuk mempercepat jadwal sidang sehingga keputusan final dapat dibuat sebelum 19 Januari. TikTok menyatakan, penundaan sementara akan memberikan waktu bagi pemerintahan Trump yang baru untuk mengambil posisi terkait kebijakan ini.
Langkah Mahkamah Agung ini "sangat tidak biasa," menurut analis Bloomberg Intelligence, Matthew Schettenhelm, tetapi tidak serta merta berarti undang-undang tersebut akan dibatalkan. Ia memperkirakan TikTok hanya memiliki peluang 30% untuk menang.
“Kasus ini berkisar pada keseimbangan antara Amandemen Pertama Konstitusi dengan dua hal: pertama, kekhawatiran terhadap keamanan nasional, dan kedua, penghormatan pengadilan terhadap keputusan Kongres serta eksekutif dalam masalah tersebut,” ujar Gus Hurwitz, direktur akademik di University of Pennsylvania.
Hurwitz menilai kecil kemungkinan Mahkamah Agung akan membatalkan undang-undang itu, terutama karena pendapat sebelumnya dari Hakim Amy Coney Barrett yang menyatakan bahwa perusahaan asing tidak memiliki hak yang dilindungi oleh Amandemen Pertama.
TikTok menyebut undang-undang itu sebagai “pembatasan kebebasan berbicara yang besar dan belum pernah terjadi sebelumnya.” Dalam dokumen pengadilan, TikTok mengatakan aturan ini akan “membungkam” komunikasi banyak pengguna di platformnya terkait politik, seni, hingga urusan publik lainnya.
“Kami yakin Mahkamah akan menganggap bahwa larangan TikTok melanggar konstitusi, sehingga lebih dari 170 juta orang Amerika dapat terus menggunakan platform ini untuk menyuarakan pendapat mereka,” kata juru bicara TikTok, Michael Hughes.
Namun, Pengadilan Banding AS untuk Distrik Columbia sebelumnya menyatakan bahwa Kongres dan presiden memiliki wewenang luas dalam menentukan kebijakan keamanan nasional. Panel itu terdiri dari dua orang yang ditunjuk oleh Partai Republik dan satu orang yang ditunjuk oleh Partai Demokrat.
“Amandemen Pertama melindungi kebebasan berbicara di AS. Pemerintah bertindak untuk melindungi kebebasan ini dari ancaman negara asing,” tulis Hakim Douglas Ginsburg.
Tuduhan ancaman nasional
Pemerintahan Biden mendukung undang-undang ini, dengan alasan bahwa jangkauan luas TikTok di AS memberi China kemampuan untuk memanfaatkan platform tersebut guna melemahkan kepentingan Amerika. Departemen Kehakiman menyebut hal ini sebagai ancaman keamanan nasional yang sangat besar.
Kelompok pembuat konten juga mengajukan gugatan terhadap undang-undang tersebut. Salah satu anggotanya, Paul Tran, menyebut gugatan ini sebagai “harapan terakhir” mereka untuk menghentikan larangan tersebut.
Sementara itu, Trump mengungkapkan bahwa ia memiliki “simpati” terhadap TikTok karena platform itu telah membantu menarik perhatian pemilih muda dalam pemilihan November lalu. Namun, jika undang-undang ini mulai berlaku, posisi Trump sebagai presiden bisa memengaruhi pelaksanaannya, mengingat Departemen Kehakiman akan bertugas menegakkan aturan ini.
Larangan tersebut tidak mengharuskan pengguna menghapus aplikasi TikTok mereka. Namun, perusahaan-perusahaan pendukung TikTok—seperti Oracle Corp, yang mengelola server platform ini—akan dilarang memberikan layanan penting. Jika larangan ini tidak diblokir, TikTok akan dihapus dari toko aplikasi pada 19 Januari, membuatnya tidak lagi tersedia untuk pengguna baru.
Jadwal sidang Mahkamah Agung yang dipercepat ini terbilang agresif, tetapi bukan tanpa preseden. Dalam kasus Bush v. Gore pada tahun 2000, Mahkamah memutuskan hanya sehari setelah mendengar argumen dan tiga hari setelah menerima kasus tersebut.
(bbn)