"Mengambil sampel di 40 [titik] dari luas ratusan ribu hektar [lokasi tambang Timah] lalu dianggap sudah cukup kompeten dan terpercaya untuk menghitung angka kerugian negara terbesar sepanjang republik indonesia ini berdiri," ujar dia.
Menurut dia, pengusaha tambang batu bara saja melakukan pengeboran minimal 100 titik untuk memeriksa potensi pada lahan seluas 10 hektar. Tiap titik memiliki jarak sekitar 5-10 meter. Penelitian pun memiliki jangka waktu antara enam bulan sampai satu tahun.
"Itu saja masih salah, yang mulia. Sering salah [hasilnya]," kata Harvey.
Dia juga menyoroti keterangan saksi ahli dari auditor BPKP yang ternyata tak pernah melakukan audit secara khusus. Auditor hanya menggunakan data yang ditulis jaksa pada berita acara pemeriksaan para saksi dan tersangka.
Selain itu, auditor BPKP juga sempat meminta staf PT Timah Tbk membuat sebuah tabel atau data pada Mei 2024 -- saat jaksa sudah menahan nyaris semua tersangka kasus tersebut. Data ini kemudian ditampilkan sebagai bukti daftar kerugian PT Timah Tbk selama periode kasus.
"Tabel excel ini tidak pernah kami temukan di laporan keuangan [PT Timah Tbk] mana pun. [Padahal] Laporan keuangan PT Timah Tbk yang merupakan perusahaan terbuka," ujar Harvey.
"Sampai dengan detik pembacaan pledoi ini, saya masih sangat bingung Rp300 triliun ini datangnya dari mana?"
Dia mengklaim, kesalahan hitung Bambang tak hanya berdampak bagi para terdakwa. Menurut dia, bergulirnya kasus ini membuat sengsara masyarakat Bangka Belitung yang kini tak punya pekerjaan usai penutupan tambang masyarakat di kawasan IUP PT Timah Tbk.
Harvey juga menuduh, kasus ini justru membangkitkan kembali penyelundupan timah, dan peningkatan ekspor timah negara tetangga.
"Sebanyak 1,5 juta masyarakat Babel jadi sangat sengsara karena ahli ini [Bambang Hero Saharjo] malas menghitung," kata dia.
(azr/frg)