Logo Bloomberg Technoz

Sebelumnya, AS padahal diproyeksikan hanya akan mengenakan tarif kepada lima negara, yakni China, Kanada, Meksiko, Uni Eropa dan Vietnam.

"Indonesia kalau tidak salah ranking 15 [surplus perdagangan yang tinggi dengan AS]. Insyallah mungkin belum atau tidak jadi sasaran dari yang dilakukan sekarang," ujarnya.

Selain itu, besaran tarif juga berpotensi lebih besar dari yang sebelumnya diproyeksikan hanya 25%. Tarif itu berpotensi meningkat menjadi 30% kepada China; 25% untuk Uni Eropa dan Inggris; dan 10% masing-masing untuk Meksiko, Kanada, Jepang, Korea Selatan dan Vietnam.

"Untuk komoditasnya lebih luas semula besi baja aluminium dan kendaraan bermotor itu dari ekonomi Uni Eropa, Inggris mesin dan elektronik dan bahan kimia dari China, tetapi juga diperluas tidak hanya barang tetapi negara," ujarnya.

"Bacaan kami kendaraan, itu dari ekonomi Uni Eropa dan Inggris, dan juga diperlakukan untuk Meksiko, Jepang, Korea Selatan, dan China. Terus ini juga diperluas komoditasnya, solar panel dari Vietnam. Demikian juga seluruh produk impor dari China."

Kebijakan tersebut, kata Perry, tentu saja bakal berdampak terhadap perlambatan ekonomi dunia serta kenaikan inflasi karena terganggunya rantai pasok karena penerapan tarif. 

Di sisi lain, Bank Indonesia juga belum mengetahui dengan lengkap bagaimana reaksi China terhadap rencana kebijakan yang disampaikan AS. Dengan demikian, ketidakpastian pasar keuangan global makin tinggi dan risiko perlambatan ekonomi makin besar akibat fragmentasi perdagangan.

"Bacaan kami, rencana Kebijakan AS itu, China sudah mengumumkan akan membatasi ekspor ke Amerika Serikat pada 3 Desember untuk produk mineral galium, germanium, dan antimoni untuk bahan-bahan termasuk aplikasi militer, dan juga itu bahan-bahan untuk cip, semikonduktor. Jadi bulan lalu belum ada rencana kebijakan China, sekarang sudah ada retaliasi."

Dampaknya, penurunan suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate pada 2025 berpotensi mundur dari prediksi sebelumnya pada Maret dan Mei masing-masing 25 basis poin atau bps menjadi pada Maret dan Juni dengan prediksi besaran pemangkasan yang sama.

Hal tersebut juga tentu berimplikasi terhadap US Treasury dengan yield 10 tahun yang dipengaruhi rencana kebijakan fiskal pemerintah AS, di mana tahun depan diproyeksikan defisitnya melebar menjadi 7,7%. Walhasil, prospek imbal hasil US Treasury baik dengan yield 2 tahun dan 10 tahun menjadi lebih tinggi.

"Sebagai contoh bahwa kami perkirakan US Treasury yang 2 tahun yang di triwulan IV ini adalah sekitar 4,2% bisa naik menjadi 4,5% pada akhir 2025. Sementara US Treasury yang 10 tahun yang sekarang adalah sekitar 4,3%, ini akan naik bisa menjadi 4,7% pada tahun depan," ujarnya.

"Itu yang dampak yang lain adalah tentu saja dolar index yang sekarang sekitar 106-107, nampaknya ini juga masih akan tinggi."

Dengan segala ketidakpastian itu, Perry mengatakan, Bank Indonesia akan fokus pada stabilisasi nilai tukar rupiah. Hal ini bukan berarti tidak ada ruang penurunan suku bunga, tetapi waktunya belum tepat. 

(dov/wdh)

No more pages