Namun, dengan semua manfaat ini, muncul sisi gelap yang perlu dipertimbangkan: ketergantungan manusia pada AI yang belum sempurna.
Dalam podcast, Ray Frederick Djajadinata menyoroti betapa mudahnya manusia menjadi terlalu bergantung pada AI meskipun teknologi ini belum sepenuhnya matang.
"Orang menjadi semakin bergantung. Kita bisa melihat ini di sistem pendidikan kita juga, seperti siswa menggunakannya untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka, membuat esai. Menganggap AI sebagai tempat semua jawaban ketika sebenarnya ia belum memberikan jawaban yang benar secara akurat, itu adalah sebuah bahaya besar,” ujar Ray Frederick.
AI saat ini bekerja dengan prinsip prediksi probabilitas berdasarkan data yang telah dilatih sebelumnya.
Meskipun AI dapat memberikan jawaban yang tampak benar, dalam banyak kasus, jawaban tersebut hanya bersifat “level C” atau sekadar mendekati benar. Dalam istilah pendidikan, AI mungkin hanya memberikan jawaban dengan skor 70-80% akurat, bukan jawaban sempurna.
Hal ini sangat berbahaya ketika pengguna AI tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memvalidasi informasi yang diberikan. Contoh nyata adalah siswa yang mengandalkan AI sepenuhnya untuk mengerjakan tugas tanpa memahami isi sebenarnya. Ini tidak hanya menurunkan kualitas pembelajaran, tetapi juga menciptakan generasi yang kurang kritis dalam berpikir.
“Sejauh yang Aku lihat, AI memberikan jawaban level C untuk banyak pertanyaan yang kita ajukan. Meskipun, kalau kau memiliki keahlian di topik tertentu, kau bisa melihatnya. Seperti saat kau bertanya sesuatu dan tahu jawabannya tidak tepat.”, Ujar Ray Frederick.
Ketergantungan pada AI juga menciptakan rasa aman palsu. Manusia cenderung percaya pada teknologi karena dianggap netral dan obyektif. Namun, AI sebenarnya hanya merefleksikan data yang ada, yang sering kali memiliki bias.
Moshe Panjaitan, CEO MIOTA, mengajak masyarakat untuk melihat AI sebagai alat pendukung yang harus digunakan secara bijak. AI bukan pengganti manusia, melainkan mitra dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
“Saya pikir kesadaran dan adaptasi terhadap (AI) terutama dalam industri, sangat penting. Dan itu berlaku untuk individu dan juga bisnis.” Ujar Moshe.
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk besar, memiliki peluang besar dalam memanfaatkan AI. Namun, tanpa edukasi yang memadai, ketergantungan pada teknologi ini bisa menjadi bumerang.
Contoh nyata adalah siswa atau tenaga kerja yang menggantungkan hasil pekerjaan mereka pada AI tanpa memahami inti dari proses tersebut. Hal ini berpotensi menurunkan daya saing individu dan menciptakan ketimpangan keterampilan di masa depan.
Untuk mendalami lebih lanjut tentang bagaimana AI membentuk masa depan kita, simak diskusi lengkapnya di episode ketiga TechnoZone Podcast bertajuk “AI: Kekuatan Mengerikan atau Solusi?”. Jangan lewatkan wawasan berharga dari para ahli yang dapat membantu Anda memahami dan memanfaatkan AI secara optimal!
(pod)