Logo Bloomberg Technoz

“Ke depannya, permintaan nikel itu memang kita bilang terus melemah ya sampai ke 2025. Dari tahun lalu, tahun ini, sampai tahun depan itu masih terus menurun. Belum ada grafik yang memperlihatkan tanda-tanda ‘kehidupan’ [kenaikan].”

Produsen nikel terbesar di dunia./dok. Bloomberg

Industri hilir penyerap bahan baku nikel kelas 2 masih cenderung wait and see, menantikan pelantikan Trump pada awal 2025. Mereka juga mengantisipasi kemungkinan jilid baru perang dagang AS-China yang akan memengaruhi transaksi komoditas logam industri. 

“Lalu, Trump juga sempat menyebutkan tetap akan mendukung manufaktur konvensional, termasuk mobil berbahan bakar fosil. Ini sebenarnya wajar, karena transisi ke EV juga belum ditunjang infrastruktur [charging station] yang mumpuni,” ujar Meidy.

Orientasi Trump yang lebih pro energi fosil tersebut, sambungnya, juga akan memengaruhi permintaan terhadap nikel untuk bahan baku baterai.

Dengan demikian, dia mengestimasikan tekanan terhadap permintaan nikel pada 2025 tidak hanya terjadi untuk nikel kelas 2 dari industri baja nirkarat, tetapi juga nikel kelas 1 atau battery grade dari industri kendaraan listrik. 

Produksi Domestik

Lebih lanjut, Meidy menjabarkan, porsi produksi nikel limonit untuk bahan baku industri baterai, lanjutnnya, masih sangat kecil. Hal itu juga tecermin dari dominasi smelter pirometalurgi berteknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) untuk mengolah nikel kelas 2.

Meidy mengatakan saat ini terdapat 49 smelter pirometalurgi yang sudah berproduksi, dan masih ada 36 proyek smelter RKEF yang masih dalam tahap konstruksi.

Sebaliknya, baru terdapat 6 smelter hidrometalurgi berteknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang bisa menghasilkan nikel sulfat dan mixed hydroxide precipitate (MHP) bagi bahan baku baterai. Di luar itu, masih ada 6 pabrik hidrometalurgi yang sedang konstruksi.

“Secara total 95 pabrik nikel ini, cuma 12 yang hidrometalurgi. Artinya, produksi bahan baku untuk nikel turunan itu masih didominasi nikel kelas 2 [yang produk derivatifnya diserap untuk industri baja nirkarat],” terang Meidy.

Tren produksi baja China./dok. Bloomberg

Untuk diketahui, China menyumbang sekitar 55% produksi baja—termasuk baja nirkarat — dunia. Tahun ini, ekspor baja China menembus 100 juta ton, menyamai rekor tertinggi 2016, di tengah kekhawatiran jelang kembalinya Trump ke Gedung Putih pada 2025.

Namun, pakar strategi di Macquarie Group memperkirakan ekspor baja China akan mencapai 109 juta ton tahun ini, sebelum turun menjadi 96 juta ton pada 2025. Tarif perdagangan dapat makin mengekang kinerja industri baja China.

Prediksi Macquarie diamini oleh analis Citigroup. “Pengiriman baja China cenderung menurun mulai 2025 dan seterusnya karena adanya tindakan antidumping,” kata Ren Zhuqian, analis dari konsultan baja Mysteel, dalam catatan Citigroup pada Oktober.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menggakui krisis yang menimpa industri baja di China dapat berdampak serius pada industri nikel di Indonesia.

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq melaporkan sebesar 84,74% produk hilirisasi nikel Indonesia seperti NPI, feronikel, nickel matte, stainless steel HRC, dan ni-scrap diekspor ke China pada 2023

Jika industri baja di China melemah atau gagal, kata Julian, permintaan nikel dari Indonesia ke China dapat mengalami penurunan dan menyebabkan oversupply nikel.

“Sehingga harga nikel global turun yang tentunya dapat berimbas negatif pada industri nikel di Indonesia serta berkurangnya volume ekspor nikel Indonesia yang berpengaruh kepada neraca perdagangan Indonesia serta menurunnya pendapatan negara dari ekspor nikel,” ujar Julian kepada Bloomberg Technoz, akhir September.

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi

(wdh)

No more pages