Seperti yang diwartakan Bloomberg News, Penjualan Ritel pada November mencatat pertumbuhan yang solid, menandakan ketahanan konsumen. Namun, Produksi Industri justru turun tak terduga selama tiga bulan berturut-turut. Perhatian tertuju pada keputusan The Fed, di mana pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin banyak diproyeksikan.
Namun, prospek kebijakan ke depan masih belum jelas karena ancaman tarif impor inflasi dari Pemerintahan AS yang baru dapat membuat pejabat The Fed lebih berhati-hati dalam melangkah.
Chris Larkin, Managing Director di E*Trade dari Morgan Stanley, menyatakan bila data Ekonomi AS positif, seperti Penjualan Ritel, dapat memperkuat alasan The Fed untuk menunda pemangkasan suku bunga pada Januari mendatang.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia akan mengumumkan suku bunga acuan alias BI Rate pada siang hari ini, Rabu (18/12/2024).
Untuk keputusan Rapat Dewan Gubernur BI Desember ini, suara pasar terbilang terbelah. Dari 33 Ekonom/ Analis yang terlibat dalam pembentukan konsensus oleh Bloomberg pada Rabu (18/12/2024) pagi, sebanyak 20 memperkirakan BI Rate akan bertahan di 6%.
Sedangkan 13 lainnya memperkirakan suku bunga acuan turun 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%.
Artinya, boleh dibilang peluang hold maupun cut nyaris sama kuat. Porsi yang memperkirakan BI Rate tetap adalah 60% dan yang mengestimasikan pemangkasan 25 bps adalah 40%.
Jadi sebelum semua terang-benderang, yaitu saat Gubernur Perry Warjiyo membacakan keputusan, maka sepertinya pasar akan cenderung wait and see.
Pelemahan rupiah membuat keputusan Bank Indonesia seputar suku bunga acuan menjadi rumit. Di satu sisi, Indonesia butuh pelonggaran moneter untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, rupiah perlu dukungan suku bunga yang menarik bagi arus modal global.
(fad)