Bloomberg Technoz, Jakarta - Kinerja rupiah yang semakin memprihatinkan belakangan, mempersempit ruang bagi Bank Indonesia untuk melonggarkan kebijakan moneter, bahkan ketika berbagai indikator memperlihatkan perekonomian domestik sebenarnya membutuhkan penurunan bunga acuan.
Rupiah ditutup di level Rp16.065/US$ di pasar spot domestik kemarin, mencerminkan pelemahan 0,41% dibanding hari sebelumnya, berdasarkan data Bloomberg. Sementara kurs tengah Bank Indonesia (JISDOR), kemarin tertekan di Rp16.050/US$.
Setelah level psikologis utama tertembus, level terlemah pada 30 Juli lalu di Rp16.325/US$ akan menjadi titik penting yang akan dicermati oleh para trader di pasar valuta.
Rupiah yang rentan akibat dolar Amerika Serikat (AS) yang makin digdaya, mengekang tangan bank sentral untuk melanjutkan pelonggaran. Rapat Dewan Gubernur BI yang digelar sejak kemarin dan dijadwalkan akan mengumumkan keputusan siang nanti, diperkirakan akan menghasilkan vonis 'tahan' untuk BI rate di level 6%.
Mengacu konsensus yang dihelat oleh Bloomberg, sebanyak 15 dari 27 ekonom yang disurvei, memperkirakan BI rate tetap di 6%. Namun, 12 orang di antaranya memperkirakan BI rate berpeluang dipangkas 25 bps jadi 5,75%.
Ekspektasi pasar itu sejalan dengan sinyal yang keluar dari pernyataan terakhir Gubernur BI Perry Warjiyo hari Sabtu lalu. Peluang penurunan BI rate bulan ini sepertinya nyaris nol.
Perry mengatakan, dolar AS saat ini sangat kuat. Sebagai gambaran, sebelum Donald Trump terpilih, indeks dolar AS (DXY) ada di kisaran 101. Namun, sejak awal November sampai saat ini atau dalam rentang 1,5 bulan, indeks dolar sudah di 107 atau naik hampir 76%. Keperkasaan dolar AS itu melantakkan mata uang lain yang menjadi lawannya, tak terkecuali Indonesia.
"Itulah angin yang sedang kita hadapi. This is the new era that we will enter for the next four years, Trump. And we do not know what will be happen. Itulah dalam kisah film Castaway, itulah yang sedang kita hadapi. Bagaimana kita bisa survive dan terus maju, memacu pertumbuhan dalam dunia yang betul-betul susah diprediksi. Itulah yang kita hadapi sekarang," kata Perry dalam acara Seminar Kafegama: Menuju Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju, Sabtu lalu.
Baca juga: Trump Effect Membangunkan Lagi 'Perry Sang Elang'
Analis menilai, ketika rupiah terguncang tajam beberapa waktu terakhir, BI melakukan intervensi yang cukup berani untuk menahannya. Jadi, menjadi hal yang inkonsisten bila dalam RDG bulan ini akan ada pemangkasan.

“Dengan mata uang yang saat ini berada di bawah tekanan yang sangat besar sehingga pejabat bank sentral menggambarkan intervensi pasar mereka sebagai tindakan yang 'cukup berani', kami ragu akan ada cukup kenyamanan untuk penurunan suku bunga sebesar 25 bps bahkan jika The Fed melakukan pelonggaran,” tulis ekonom Barclays Plc, Brian Tan. dalam sebuah catatan, dilansir dari Bloomberg. “Risikonya jelas, dalam pandangan kami, cenderung mengarah pada penundaan dimulainya kembali penurunan suku bunga BI.”
Rupiah telah melemah lebih dari 5% terhadap the greenback sepanjang kuartal ini. BI sejauh ini terus mengandalkan triple intervention yakni di pasar spot, pasar forward domestik serta pasar Surat Berharga Negara (SBN), selain terus mengerek bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) hingga di atas 7% saat ini.
"Walaupun ada ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga acuannya [inflasi yang rendah], rupiah sedang mengalami tekanan depresiasi yang cukup signifikan dan pemotongan suku bunga dapat memperburuk tekanan tersebut. Dengan demikian, kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuannya pada 6,00% dalam rapat Dewan Gubernur di bulan Desember ini," kata Ekonom LPEM Universitas Indonesia Teuku Riefky dalam catatannya.
Peluang kenaikan
Dalam paparan RDG bulan lalu, nada hawkish kuat terdengar dan memupus harapan pelonggaran moneter.
Dua hal yakni prospek bunga acuan AS serta risiko defisit fiskal, menjadi dua hal yang mengubah total arah kebijakan ke depan.
BI yang semula memprediksi akan terjadi penurunan Fed Fund Rate (FFR), suku bunga AS, sebanyak 75-100 bps pada 2025, kini memperkirakan penurunannya hanya sebesar dua kali saja tahun depan.
Bila diasumsikan FFR pada Desember kembali dipangkas 25 bps, ditambah prediksi dua kali penurunan lagi, maka tingkat bunga acuan AS diperkirakan akan ada di kisaran 3,75%-4% pada 2025.
Sementara kebijakan ekspansif Trump akan mendorong kebutuhan belanja lebih banyak hingga mengerek tingkat defisit fiskal negeri terbesar itu ke level 7,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dari tadinya di level 6,5%, menurut hitungan BI.
"Defisit fiskal AS yang tinggi mendorong penerbitan surat utang lebih banyak. Bila surat utang terbit lebih banyak, yield akan naik di mana saat ini sudah naik. Tadi ada kata-kata yield Treasury tidak turun malah kembali meningkat dalam jangka pendek maupun panjang kami prediksi tenor 2Y yang pernah di 3,7% bisa naik ke 4,5% tahun depan, sedangkan UST-10Y kemungkinan naik ke 4,7%," kata Perry.
Saat ini, yield UST-10Y sudah di 4,4%. Dana global akan kembali tersedot ke AS dan melambungkan lagi pamor dolar AS. Indeks dolar AS kini bahkan sudah di 107. "Ini proses yang dinamakan mulai mengarah keseimbangan baru," kata Perry.
Menurut Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson, paparan RDG terakhir pada bulan November telah memupus peluang penurunan BI rate bulan ini.
"Meski BI bilang terus mencari peluang pemangkasan suku bunga, namun menurut kami langkah selanjutnya bisa ke arah lain, yakni kenaikan. Kami tidak menutup kemungkinan ada kenaikan BI rate dalam 12 bulan ke depan jika kekuatan dolar AS mulai menguras likuiditas atau perkembangan geopolitik memantik risk-off," katanya.
Ekonom juga meragukan akan ada peluang penurunan BI rate pada semester 1-2025. Pasar global kemungkinan akan lebih bergejolak pada periode tersebut sejurus dengan Trump yang dilantik resmi dan mulai mewujudkan janji-janji kampanyenya.
"Diperlukan pelemahan indeks dolar AS dan imbal hasil Treasury yang luar biasa untuk BI bisa kembali ke siklus pelonggaran. Bahkan jika dolar AS melemah sejalan dengan tren historis 7 tahun terakhir, kemungkinan gerak rupiah akan di kisaran Rp15.500-Rp15.600/US$," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, yang juga tidak melihat ada peluang penurunan BI Rate di sisa tahun ini.
(rui)