“Akibatnya, belanja masyarakat lebih diutamakan untuk transportasi. Jadi ketika cutinya panjang, otomatis mereka liburnya lebih lama. Berlibur lebih lama kan berarti belanja bahan bakar buat kendaraan lebih besar. [Pengeluaran masyarakat lebih diarahkan] ke situ daripada ke ritel,” ujarnya.
Faktor kedua penyebab lesunya omzet ritel modern selama Lebaran adalah fluktuasi harga, khususnya kebutuhan pokok. Selain itu, sebagian kalangan masyarakat juga menahan belanja lantaran berjaga-jaga di tengah isu resesi ekonomi yang belum selesai.
Realisasi pertumbuhan omzet ritel modern pada periode Lebaran tersebut berada jauh di bawah ekspektasi Aprindo sebelumnya. Asosiasi memproyeksi terjadi peningkatan penjualan bulanan atau month to month (mtm) di gerai-gerai ritel modern hingga 21% selama Ramadan hingga Idulfitri 1444H dari periode normal.
Penjualan produk makanan dan minuman ditaksir masih akan mendominasi disusul oleh produk pakaian yang biasanya dicari mendekati Hari Raya.
"Belum lagi adanya THR [tunjangan hari raya], ini ikut membantu penjulan ritel [modern]. Masyarakat yang pada awal atau sebelum Ramadan berbelanja untuk stok kemudian akan berbelanja lagi," papar Roy dalam sebuah kesempatan, medio April.
Adapun, secara tahunan Aprindo memproyeksi industri ritel modern di Tanah Air akan tumbuh hingga 4,6% secaara year on year (yoy) sepanjang 2023. Pemilihan umum (Pemilu) yang akan digelar pada 14 Februari 2024 menjadi salah satu pendorong pertumbuhan tersebut.
"Tiga bulan setelah Idulfitri ini akan menurun [penjualan]. Polanya memang begitu, setelah banyak belanja, masyarakat rem dahulu. Nah Agustus [2023], baru akan naik kembali dibantu oleh Pemilu 2024 yang masuk masa kampanye," katanya.
Selain itu, program bantuan sosial (bansos) pangan juga diyakini dapat mengatrol daya beli masyarakat di tengah fluktuasi harga pangan. Program pemerintah tersebut secara tidak langsung turut mengerek penjualan di gerai-gerai ritel modern yang belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi Covid.
"Masyarakat yang mendapatkan bansos [pangan] ini kemudian akan membelanjakan uang yang sebelumnya dialokasikan untuk kebutuhan pokoknya seperti beras ke kebutuhan lainnya, termasuk kebutuhan sekundernya. Tentu, ini menggembirakan bagi bisnis ritel modern," kata Roy.
Bagaimanapun, dia tidak menampik 2023 merupakan tahun yang sangat menantang bagi para pelaku usaha, tidak terkecuali pelaku usaha ritel modern. Gejolak ekonomi dan situasi global yang menantang sangat mungkin menggerus daya beli masyarakat Indonesia.
Walaupun demikian, situasi pandemi Covid-19 yang kian membaik berhasil membuat masyarakat percaya diri untuk kembali berbelanja, khususnya berbelanja langsung ke gerai-gerai ritel modern.
"[Sebanyak 65% masyarakat Indonesia sudah kembali belanja offline, 20% masih senang belanja online, dan 15% hybrid atau keduanya," ujar Roy.
(ibn/wdh)