Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang berlaku pada 2025 berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp75 triliun.
"[Potensi kisaran penerimaan] sekitar Rp75 triliun dari PPN 12%," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (16/12/2024).
Oleh karena itu, kata Rizal, sebelum meningkatkan tarif pajak, pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan sistem perpajakan secara struktural.
"Upaya ini meliputi peningkatan transparansi, digitalisasi layanan perpajakan untuk meminimalkan celah penghindaran, serta penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku penghindaran pajak," ujarnya.
"Edukasi dan komunikasi yang lebih intensif kepada wajib pajak juga diperlukan untuk membangun kesadaran bahwa pajak adalah kontribusi krusial bagi pembangunan nasional."
Kenaikan tarif pajak, jika tidak diiringi dengan peningkatan kepatuhan dan reformasi administrasi, berisiko menciptakan persepsi negatif di kalangan wajib pajak. Rizal mengatakan kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal harus dipulihkan terlebih dahulu agar peningkatan tarif pajak benar-benar efektif dalam meningkatkan penerimaan negara.
Sekitar seperempat perusahaan di Indonesia melakukan tindakan penghindaran pajak alias tax evasion, menurut hasil studi Bank Dunia yang dilansir hari ini.
Lemahnya kepatuhan pembayaran pajak di Indonesia menjadi salah satu faktor utama mengapa penerimaan pajak di Indonesia rendah. Penghindaran pajak lebih sering terjadi pad`a perusahaan non-eksportir, juga kalangan usaha yang menganggap administrasi pajak sebagai beban besar dan menghadapi persaiangan informal yang kuat.
Sekitar setengah dari perusahaan di Indonesia melaporkan bahwa mudah bagi mereka menghindari pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebagian yang lain menganggap kepatuhan pajak terlalu rumit terutama di kalangan usaha kecil. Tantangan itu mencerminkan kelemahan dalam administrasi pajak dan kurangnya insentif kepatuhan sukarela yang disebabkan oleh kompleksitas dan rendahnya kesadaran pajak, menurut Bank Dunia.
"Kepercayaan para pembayar pajak atau kompleksitas sistem perpajakan dapat berperan dalam menentukan pilihan mereka untuk melalukan penggelapan," kata Senior Economist Bank Dunia Rong Qian, dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Outlook di Jakarta, Senin (16/12/2024).
(dov/lav)