Meski demikian, Imaduddin mengatakan segmen EV premium dan kendaraan dengan kebutuhan jarak tempuh lebih jauh masih membutuhkan baterai berbasis nikel.
Permintaan baterai nikel terutama lebih banyak terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, di mana industri EV-nya lebih mengutamakan performa alih-alih harga.
“Bagi Indonesia, tren ini membuat pemerintah perlu mengevaluasi ulang strategi hilirisasi yang selama ini terlalu fokus pada baterai EV,” tegasnya.
Dengan kapasitas produksi baterai di Indonesia yang masih 0,4% porsi global, meski menguasai 50% produksi nikel, fokus jangka pendek hilirisasi nikel sebaiknya diarahkan pada produk antara seperti mixed hydroxide precipitate (MHP) dan nikel sulfat yang memiliki fleksibilitas penggunaan lebih tinggi.
Meski demikian, lanjut Imaduddin, peluang bagi Indonesia di segmen EV premium yang membutuhkan baterai berbasis nikel tetap ada.
“Dengan catatan, Indonesia dapat meningkatkan standar produksi untuk memenuhi persyaratan pasar global yang makin ketat,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengutarakan tren pasar baterai EV berpotensi terus berubah selama 5 tahun ke depan.
Dengan demikian, pemerintah harus melakukan antisipasi terhadap hal tersebut dengan mengembangkan jenis baterai selain LFP dan NMC. Terlebih, pengembangan teknologi baterai EV lain seperti solid-state battery dan sodium-ion sudah mulai dilakukan.
“Jangan karena kita punya nikel, kita jemawa seakan-akan bisa mengatur semuanya, tidak, karena kita hanya punya material dasarnya, kita tidak menguasai teknologi baterainya,” ujar Fabby saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Di lain sisi, Fabby menggarisbawahi perkembangan investasi smelter berbasis high pressure acid leaching (HPAL) untuk menghasilkan MHP dan nikel sulfat di Indonesia tetap bisa dilakukan.
Terlebih, perusahaan-perusahaan yang menggelontorkan investasi yang tinggi untuk HPAL pasti memiliki pertimbangan dan perhitungan sendiri.
“Kalau dia bangun dan misalnya pasarnya turun, bukan berarti kebutuhannya habis,” ujarnya.
Atur Smelter
Namun, Fabby menggarisbawahi, pemerintah juga harus memberikan perhatian untuk mengatur bahwa pembangunan smelter tidak berlebihan, di saat Indonesia tidak memiliki cadangan nikel yang cukup untuk diolah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan cadangan nikel saprolit di Indonesia masih akan bertahan hingga 13 tahun ke depan, sementara nikel limonit cukup hingga 33 tahun ke depan.
“Ketahanan cadangan nikel kita, saprolit ini kira-kira kita masih punya 13 tahun, limonit kita masih ada sekitar 33 tahun,” ujar Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ing Tri Winarno dalam sebuah rapat di Komisi VII DPR RI, medio Maret.
Saprolit merupakan nikel kadar tinggi dan banyak diolah melalui sistem rotary kiln electric furnace (RKEF). Nikel ini menghasilkan produk berupa nickel pig iron (NPI), feronikel (FeNi), atau nickel matte untuk bahan baku baja nirkarat.
Sementara itu, limonit merupakan nikel kadar rendah yang umumnya diolah melalui sistem HPAL untuk menghasilkan MHP yang dibutuhkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi dan Dovana Hasiana
(wdh)