Tak Sampai Sebulan
Saat ini, kata Moshe, daya tahan cadangan energi Indonesia hanya mencapai usia 2 pekan—20 hari. Di negara-negara yang sudah menerapkan sistem buffer stock, cadangan energinya bisa bertahan hingga rentang bulanan.
Selain untuk mengantisipasi krisis energi, lanjutnya, keberadaan CPE juga krusial dalam menstabilkan harga energi—khususnya BBM dan LPG — di dalam negeri.
Dia pun menganalogikan CPE sama seperti cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog (Persero).
“Bulog mengeluarkan cadangan beras secara signifikan ke pasar untuk menurunkan harga. Seperti itu. Jadi cadangan strategis energi ini fungsinya juga cukup krusial ya bagi ketahanan energi kita, apalagi kalau di situasi-situasi yang darurat.”
Bukan Masalah Mahal
Moshe pun menekankan untuk mengeksekusi kebijakan CPE, sudah pasti dibutuhkan investasi yang sangat mahal. Namun, hal tersebut sebaiknya tidak menjadi alasan untuk menunda pengadaan stok penyangga energi di Indonesia.
“Namanya juga sesuatu yang darurat, pasti harus mahal. Ini seperti di rumah kita menyiapkan first aid kit, jadi kalau ada yang cedera, bisa langsung ditangani. Harus dipikirkan posisi first aid itu di mana, pemakaiannya bagaimana, aksesnya bagaimana, deployment-nya siapa.”
Untuk itu, kata Moshe, pengadaan cadangan energi negara bisa dilakukan secara berkala dan tidak serta-merta agar tidak terlalu menekan porsi belanja negara, serta untuk menghindari kerusakan terhadap komoditas yang hendak disimpan.
“Jangan salah, misalkan kalau kita menyimpan gas; itu juga harus ada cost-nya. Kalau kita simpan minyak, itu juga harus ada maintenance-nya. Karena mereka bisa kedaluwarsa. Menyimpan BBM juga ada masa kedaluwarsanya,” terangnya.
Jika disimpan terlalu lama; baik minyak mentah, LPG, maupun BBM bisa mengalami penurunan performa. Dengan demikian, cadangan energi nasional pun harus mengalami pergantian secara berkala.
“Jadi ada maintenance cost-nya juga itu. Bukan hanya menambah dan menumpuk cadangan. Makin cadangannya meningkat, biaya untuk me-maintain itu juga harus dipikirkan, karena itu luar biasa juga biayanya,” tutur Moshe.
“Makanya, [pengadaan CPE] harus bertahap. Kalau tidak, ekonomi kita bisa anjlok. [...] Bayangkan, kalau kita mau menaikkan ketahanan energi dari yang tadinya 2 pekan menjadi 4 pekan saja, itu gila banget [biayanya]. Dan itu semua harus [ditanggung] pemerintah.”
‘Gudang’ Minyak
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini mengatakan pemerintah akan membangun faislitas penyimpanan minyak di lokasi yang berdekatan dengan perbatasan Singapura.
Bahlil mengatakan pembangunan fasilitas penyimpanan untuk CPE tersebut sangat penting, sebagai antisipasi Indonesia menghadapi risiko krisis energi dari ancaman geopolitik global maupun untuk menopang rencana swasembada energi Presiden Prabowo Subianto.
Saat ini, kata Bahlil, kapasitas penyimpanan cadangan minyak Indonesia hanya berkemampuan sepanjang 21 hari.
“Ke depan, kita akan bangun storage di satu pulau yang berdekatan dengan Singapura. Kemampuan storage-nya kurang lebih sekitar 30—40 hari, semua minyak boleh masuk di situ,” ujarnya dalam agenda Bimbingan Teknis (Bimtek) Legislator Nasional Fraksi Partai Golkar, medio pekan lalu.
Sekretaris Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto sebelumnya juga menjelaskan impor untuk CPE terpaksa harus dilakukan karena produksi Indonesia sudah terserap untuk kebutuhan dalam negeri.
Saat ini 80% kebutuhan LPG masih berasal dari impor, sebab produksi dalam negeri hanya sebesar 2 juta ton sementara konsumsi mencapai 8 juta ton. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas BBM jenis bensin dan minyak karena 50% kebutuhannya masih dipenuhi oleh impor.
Dengan demikian, Djoko mengamini bahwa volume impor untuk pemenuhan kuota CPE bakal menyesuaikan dengan volume impor yang selama ini dilakukan oleh Indonesia.
Adapun, menurutnya, anggaran yang dibutuhkan untuk pengelolaan CPE, mulai dari fasilitas dan komoditas, mencapai Rp70 triliun.
Namun, Djoko mengatakan pemenuhan kuota CPE sebagaimana ditetapkan Peraturan Presiden No. 96/2024 bakal dipenuhi secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Skemanya, nantinya Indonesia bakal terus memenuhi stok CPE sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan ketika krisis atau darurat energi terjadi.
“Misalnya sekarang ada di 1 juta barel, kita pakai 500.000 barel, nanti kita isi lagi 500.000 barel,” ujarnya saat ditemui, medio September.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)