Bukan hanya itu, dalam studinya, Bank Dunia juga menemukan bahwa Pemerintah RI selama 2018-2021 terbilang jarang melalukan audit perpajakan terhadap masyarakat bila dibandingkan negara lain dalam tingkat pendapatan yang sama.
Menurut Bank Dunia, administrasi perpajakan Indonesia memiliki peluang besar dalam memperkuat penegakan kepatuhan dan meningkatkan efisiensi secara keseluruhan. Dengan meningkatkan frekuensi dan efektivitas audit, sistem akan lebih baik dalam mengidentifikasi dan menangani penghindaran pajak.
"Peningkatan proses penegakan untuk mengelola kewajiban pajak yang belum terselesaikan secara efisien akan lebih meningkatkan pengumpulan pendapatan," jelas Bank Dunia.
Penyederhanaan penyelesaian sengketa wajib pajak dan penghilangan ambiguitas regulasi akan membantu menumbuhkan kepercayaan dan transparansi. Selain itu, peningkatan akses ke data pihak ketiga secara tepat waktu merupakan sarana berharga bagi otoritas pajak untuk meningkatkan kualitas audit dan upaya penegakan.
Perlakuan Khusus
Bank Dunia menilai, Indonesia perlu meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan untuk berinvestasi pada sumber daya manusia dan fisik guna mencapai ambisi menjadi negara berpendapatan tinggi.
Tambahan penerimaan yang signifikan dapat diperoleh dengan mengatasi kesenjangan pajak (tax gap), terutama dalam PPN dan PPh Badan.
Tax gap muncul akibat adanya kesenjangan kebijakan compliance gap dan faktor struktural. Threshold Pengusaha Kena Pajak (PKP) di Indonesia saat ini jauh lebih tinggi dibanding yang berlaku di negara berkembang dan negara maju.
Akibat threshold yang tinggi, sebanyak 99% dari total perusahaan di Indonesia terbebas dari kewajiban memungut dan menyetorkan PPN.
Selain itu, perihal PPh Badan, Pemerintah RI dinilai terlalu banyak memberikan beragam pengecualian dan perlakuan khusus yang bahkan tidak pernah ada di negara lain. Mulai dari pengurangan tarif PPh badan bagi UMKM dan perusahaan yang terdaftar di bursa efek, lalu PPh final untuk sektor konstruksi, juga PPh final UMKM.
Kesemua itu pada akhirnya mempersempit basis pajak di Indonesia.
Saat ini, rasio pajak Indonesia pada tahun 2023 sebesar 10,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), termasuk yang terendah dibandingkan dengan negara-negara setara di kawasan, rata-rata negara berpendapatan menengah, dan negara-negara berkembang besar lainnya.
"Analisis lintas negara menunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia berada sekitar 6 poin persentase dari PDB di bawah negara-negara yang sebanding. Antara tahun 2016 dan 2021, penerimaan pajak yang hilang dari PPN dan PPh Badan rata-rata mencapai 6,4% dari PDB," jelas Bank Dunia.
Kekurangan itu disebabkan oleh kombinasi dari desain kebijakan dan tantangan kepatuhan. Perlakuan khusus, pengecualian, dan insentif pajak secara signifikan mempersempit basis pajak, sementara penghindaran pajak dan mekanisme penegakan yang lemah menurunkan tingkat kepatuhan.
Hasil survei Bank Dunia itu mengindikasikan adanya inefisiensi perekonomian Indonesia yang sering disinggung oleh Presiden Prabowo Subianto selama masa kampanye Pilpres lalu. Ketika resmi menduduki kursi kepresidenan, Prabowo telah memerintahkan pada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengoptimalkan pendapatan negara dan menemukan sumber penerimaan baru.
Dalam forum yang sama, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menyatakan, pemerintah telah memiliki peta jalan untuk memperkuat reformasi fiskal demi mendukung transformasi ekonomi.
Salah satu yang akan ditempuh adalah menarik penerimaan lebih banyak (collecting more). Di antaranya yang akan dilakukan adalah mengefektifkan reformasi perpajakan, memperluas basis pajak. Lalu, belanja lebih baik (spending better) juga innovative financing atau pembiayaan dengan cara lebih inovatif.
(rui/aji)