“Jadi pada saat industri itu sudah tidak pionir lagi, sudah banyak pelaku usahanya, ya ini kita akan melakukan review,” terangnya.
Dalam kaitan itu, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan bertugas menyeleksi kegiatan-kegiatan usaha yang dinilai sudah tidak ‘pionir’ alias tidak layak mendapatkan insentif fiskal.
“Kemudian, kita akan lihat mekanisme insentif yang lain. Itu untuk sementara, perpanjangan fasilitas tax holiday itu sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan [PMK]. Ya kemudian, yang untuk bidang-bidang usaha nanti masih dalam evaluasi.”
Cabut Insentif
Rencana pencabutan insentif fiskal bagi smelter nikel RKEF sebenarnya sudah sangat lama digaungkan oleh Bahlil Lahadalia, saat dirinya masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM pada era pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Februari 2023, Bahlil pernah menyebut pemerintah hanya akan memberikan kemudahan impor barang modal, tax holiday, dan tax allowance bagi investor smelter yang mendukung proyek besar penghiliran industri mineral di Tanah Air.
Syaratnya, kata Bahlil, sektor bisnis penghiliran yang dijalankan memiliki tenggat titik balik modal atau break even point (BEP) maksimal 5 tahun. Atau, tingkat pengembalian modal sendiri alias internal rate of return (IRR)-nya yang masih rendah.
“IRR-nya tidak boleh yang sudah tinggi. Kita beri insentif karena insentif fiskal itu instrumen untuk menarik investor di sektor-sektor yang nilai ekonominya belum tinggi. Jadi seperti nikel itu karena IRR-nya sudah tinggi, tidak dapat,” tegas Bahlil dalam konferensi pers Investasi Penggerak Pertumbuhan Ekonomi.
Sejalan dengan itu, Kementerian ESDM berwacana memoratorium investasi smelter RKEF baru, yang saat itu berjumlah 27 unit. Pada kenyataannya, tahun ini jumlah smelter pirometalurgi yang beroperasi dan dalam tahap konstruksi justru makin membengkak.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan terdapat 190 proyek smelter nikel di Indonesia; terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.
Dari 190 smelter tersebut, Julian mengatakan hanya 8 atau 9 yang memiliki teknologi berbasis hidrometalurgi atau high pressure acid leaching (HPAL) untuk mengolah limonit menjadi bahan baku baterai, sedangkan sisanya berbasis RKEF.
“Sebanyak 190 itu total 54 yang sudah beroperasi, 120 yang sedang konstruksi, 16 dalam tahap perencanaan, itu berdasarkan data BKPM,” ujar Julian saat ditemui di Jakarta Barat, akhir Oktober.
Tamat 4 Tahun
Julian mengatakan kebutuhan bijih nikel berada pada level 200.000 ton untuk 54 smelter yang saat ini beroperasi. Sementara itu, cadangan nikel Indonesia saat ini 5,3 miliar ton.
Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat tiga kali lipat, maka Kementerian ESDM memproyeksikan industri nikel bakal selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.
“Bisa bayangkan kalau nanti seumpama 190 smelter beroperasi, berarti habis nikel kita. Cadangan kita saat ini yang terdata 5,3 miliar ton, kalau pada 2023 kebutuhan [bijih nikel] adalah 200.000 ton, kemudian kita naikkan tiga kali lipat, maka kemungkinan industri kita akan selesai 4—5 tahun ke depan,” ujarnya.
Pengusaha Resah
Melihat situasi tersebut, Direktur Utama PT Mineral Industri Indonesia (MIND) Hendi Prio Santoso bahkan sampai meminta dukungan DPR untuk mendorong moratorium smelter nikel RKEF di tengah makin anjloknya harga feronikel.
Hendi menilai Komisi XII—yang membidangi sektor energi dan sumber daya mineral, lingkungan hidup, serta investasi — memiliki kuasa dalam memengaruhi tata niaga dan tata kelola industri pertambangan.
“Karena aspek regulasi, tentunya Komisi XII menjadi pengawas dan pembina sektor, maka kami berharap agar ada dukungan dari sisi tata kelola; mohon adanya pembatasan jumlah smelter yang dilakukan,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, awal bulan ini.
Hendi menerangkan banjir populasi smelter nikel RKEF menyebabkan oversupply feronikel di pasar dunia.
“Kalau oversupply seperti yang sudah terjadi di feronikel, harganya jatuh karena oversupply yang secara tidak langsung dan tidak sengaja mungkin dilakukan, sehingga sekarang harga feronikel itu hampir tidak menutup biaya produksi,” keluhnya.
Kondisi tersebut, menurut Hendi, tidak menguntungkan bagi holding BUMN tersebut, yang sedang memiliki proyek untuk penyediaan energi sebesar 5 GW dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL)-nya.
Dengan demikian, kata Hendi, MIND ID meminta dukungan Parlemen untuk membatasi jumlah pabrik pengolahan nikel agar perseroan bisa lebih leluasa mencapai target penyediaan listrik untuk kebutuhan sendiri.
Nikel diperdagangkan di US$16.168/ton di London Metal Exchange (LME) pada Jumat (13/12/2024), naik 1,95% dari hari sebelumnya.
Dari sisi pengusaha, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) juga sudah meminta pemerintah untuk tidak pernah kembali membuka kesempatan dalam menambah smelter pirometalurgi, menyusul cadangan yang makin menipis.
Menurut Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey, jumlah smelter RKEF yang beroperasi di Indonesia saat ini mencapai 49 smelter dan membutuhkan bijih nikel kadar tinggi (saprolit) sebesar 240,1 juta ton.
“Nah, itu [bijih saprolit tambahan] mau cari di mana? Jadi kekhawatiran kami sejak 2 tahun lalu itu karena konsumsi bijih nikel yang luar biasa. Sampai ada yang impor dari Filipina. Kekhawatiran kami adalah cadangan,” ujar Meidy kepada Bloomberg Technoz.
Dengan demikian, APNI mendorong pemerintah untuk mengundang lebih banyak perusahaan untuk berinvestasi pada smelter HPAL, alih-alih RKEF. Saat ini, menurutnya, baru terdapat 5 smelter HPAL yang sudah beroperasi di Indonesia dengan kebutuhan bijih limonit sebanyak 48,2 juta ton.
Tidak Urgen
Pada saat MIND ID dan kalangan pengusaha mendesak pembatasan smelter nikel, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM malah menilai desakan moratorium smelter nikel RKEF tidak urgen untuk dieksekusi.
Hasyim Daeng Barang, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, mengatakan saat ini pemerintah—di tataran lintas kementerian teknis — masih membahas urgensi moratorium smelter nikel berbasis RKEF.
Pemerintah tengah menghitung berapa total smelter RKEF di Indonesia, berikut kapasitas produksi serta permintaannya.
“Akan tetapi, tidak mendesak juga sebenarnya [moratorium smelter RKEF]. Tanpa moratorium juga kan pasti orang [investor] sudah tidak ke arah situ, karena sudah banyak smelter-nya. Smelter RKEF itu sudah banyak,” ujarnya di agenda diskusi CSIS, baru-baru ini.
Menurutnya, pemerintah juga tidak bisa memaksakan penyetopan investasi smelter nikel RKEF. Meski demikian, dia meyakini investasi smelter RKEF akan melambat dengan sendirinya jika produksi olahan saprolit dari Indonesia sudah terlalu membanjiri pasar.
Saat ini, Kementerian ESDM sedang putar otak untuk mengebut eksplorasi potensi sumber daya nikel yang masih terselubung di Indonesia. Jumlahnya banyak, tetapi untuk menggali potensi tersebut juga bukan perkara mudah.
Di sisi lain, pemerintah juga merancang untuk mengarahkan hilirisasi industri nikel ke arah paket dan sel baterai pada 2040. Terlebih, ke depannya permintaan nikel yang lebih bernilai tinggi untuk bahan baku baterai diproyeksi lebih mendatangkan cuan daripada feronikel.
Dengan demikian, kebutuhan untuk mengerem investasi smelter RKEF seharusnya makin urgen. Jika tidak, bukan saja cadangan harta karun nikel RI saja yang akan tersedot habis, nilai tambah yang dicita-citakan pemerintah rentan luput dari sasaran.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)