“Bukan melalui WTO [organisasi perdagangan dunia], bukan melalui CEPA, bukan melalui yang lain-lain. Berurusan secara langsung [dengan AS].”
Perry menyebut, Indonesia tidak perlu mengurangi impor dan mengenakan tarif terhadap AS. Menurut dia, Indonesia tetap akan impor dari AS namun diimbangi dengan peningkatan ekspor ke negara Paman Sam tersebut.
“Misalnya surplusnya adalah Rp1 miliar, sama-sama Rp1 miliar. Oke, kita agreement import, lebih banyak sepanjang ekspor kita juga lebih banyak. Meskipun nettonya ada Rp1 miliar. Kemudian ekonomi kita naik. Taktiknya begitu, jadi itu yang harus kita lakukan,” jelas Perry.
Kurang bertaji
Kinerja ekspor dan impor Indonesia diperkirakan masih positif pada November. Namun, laju pertumbuhannya melambat signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode November pada Senin (16/12/2024). Konsensus Bloomberg menunjukkan pertumbuhan ekspor dan impor mengalami perlambatan.
Pada November, konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg memperkirakan ekspor pada November tumbuh 6,07% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Jika terwujud, maka akan jauh lebih rendah ketimbang pertumbuhan Oktober yang sebesar 10,25% yoy.
Pertumbuhan ekspor 6,07% yoy (jika terwujud) juga akan menjadi yang terendah sejak Juni atau 5 bulan terakhir.
Koreksi harga komoditas andalan ekspor Indonesia kemungkinan jadi penyebabnya. Sepanjang November, harga batu bara dunia melemah 3,57%.
Padahal batu bara adalah andalan utama ekspor Indonesia. Sepanjang Januari-Oktober, nilai ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) mencapai US$ 32,53 miliar. Angka ini menyumbang hampir 16% dari total ekspor non-migas.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa arus perdagangan global memang melemah. Ini terlihat dari Baltic Dry Index (BADI). Sepanjang November, BADI membukukan koreksi 2,45%.
Tidak hanya ekspor, impor juga melemah. Pada November, konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg menghasilkan median proyeksi pertumbuhan impor di 6,36% yoy. Jika terjadi, maka jauh melambat dibandingkan Oktober yang melesat 17,49%.
Andai memang impor tumbuh 6,36% yoy, maka akan menjadi yang terlemah sejak kontraksi (pertumbuhan negatif) pada Mei lalu.
Kelesuan impor sepertinya tidak lepas dari dinamika industri manufaktur. Sebab, lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan industri dalam negeri. Jadi saat manufaktur lesu, maka impor juga begitu.
S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada November adalah 49,6. Angka ini memang membaik ketimbang Oktober yang sebesar 49,2.
Namun PMI di bawah 50 berarti aktivitas sedang mengalami kontraksi, bukan ekspansi. PMI manufaktur Indonesia sudah 5 bulan beruntun berada di bawah 50.
(ain)